N. Riantiarno
MASIH BAYANGAN?
semula yang mengemuka hanyalah
sesosok benda
layar putih segiempat, kosong,
seolah tanpa makna
namun saat gambar-gambar meruang
jadi kehidupan
yang kosong mengisi, lalu batas
persegi tak ada lagi
bayangan bergerak; ada tawa,
airmata, juga cinta
suasana pun hadir, keindahan yang
seakan nyata
imaji-imaji menggigit, imajinasi terproyeksi
ekspresi emosi, waktu yang
diperangkap, eksplorasi
ribuan lakon yang digali dari
peristiwa-peristiwa
jadi drama, apa pun yang direkam
kemudian menyejarah
kepadanya kita bisa
mempertimbangkan, juga berkaca
alangkah subtil masa lalu, terasa
mustahil masa kini
masa depan dikhayal pula lewat
banyak dugaan
bahkan arus dalam kemanusiaan dan
semesta alam
jagat makro dan mikro, yang nampak
atau disembunyikan
segalanya mungkin, waktu kemudian
membuktikan
segala mempesona ketika yang tiada
menjadi ada
dan mereka yang tak bernyawa mampu
berbicara
berawal dari inspirasi
sumbernya bulan dan matahari
kemanusiaan jadi tujuan
kesenian adalah jalan
lalu eksperimentasi
kerja tak kenal henti
tapi setelah keberhasilan diraih
perubahan bisa terjadi
seni menjadi komoditi
menyusul pula politik
entah mengapa tega
mengotori layar putih
dengan kumpulan jargon
slogan-slogan hampa
janji-janji belaka
lalu belenggu aturan
sensor mencekik pula
pembinaan yang diniatkan
jadi hantu pembinasaan
politik kekuasaan
ada nyanyian berbunyi; ‘citra, engkaulah bayangan’
jadi itulah peranmu; ‘bayangan yang
dinyanyikan’
nasib barangkali telah mematokmu
cuma jadi bayangan
wujud yang berdiri di depan,
bukanlah dirimu itu
kau dibikin ada dan dimuliakan saat
dibutuhkan
tapi segera dicampakkan begitu
tujuan sudah di tangan
sebagai bayangan kau hadir di saat
senja yang temaram
sebagai bayangan kau hanyalah sosok
yang terlanjur hitam
lebih jelaslah wujud didepanmu dan
memetik keuntungan
aku trenyuh menatapmu, mengingat
nasibmu yang rapuh
aku hanya bisa prihatin karena tak
mampu menolongmu
seharusnya kau bukan lagi bayangan
tapi sudah mewujud
semula yang mengemuka hanyalah
sesosok benda
layar putih segiempat, kosong,
seolah tanpa makna
namun saat gambar-gambar meruang
jadi kehidupan
yang kosong mengisi, lalu batas
persegi tak ada lagi
bayangan bergerak; ada tawa,
airmata, juga cinta
suasana pun hadir, keindahan yang
seakan nyata
o, enerji tak berbatas itu
kini dibanduli batu-batu
sesak nafasmu, aku tahu
jerat erat mengikat tubuh
langkah-langkah pun diatur
berdiri goyah, lari tak mampu
tapi bisikmu masih kudengar;
‘hari ini, dulu, aku dilahirkan,
hari ini, dulu, aku dihadirkan,
hari ini, dulu, aku mengada’
suara bisikan, meski terdengar
lembut
rasanya masih sanggup menusuk kalbu
kini, senjamu seharusnya jadi
fajarmu
Jakarta, Januari 2012.
foto: www.tempo.co