Oleh Eddy D. Iskandar
JIKA menyimak sejarah film Indonesia, terutama yang ditulis oleh dua orang
pengamat film, H. Misbach Jusa Biran dan Gayus Siagian, maka peran orang Sunda
dalam perjalanan sejarah film Indonesia demikian besar. Menurut Misbach
:"Film cerita pertama buatan dalam negeri lahir di kota Bandung dari
tangan L. Heuveldorp dan G. Krugers. Ceritanya Lutung Kasarung, legenda
terkenal dari Jawa Barat; kisah sekitar putri Raja, Pangeran, dan turunan Dewa
dari Kahyangan. Penggarap yang bernama Heuveldorp adalah Belanda totok, yang
kata koran, telah banyak berpengalaman menyutradarai di Amerika. Tapi
produksinya, yang digarap pada tahun 1926 dengan cara primitif itu, hanya cukup
menjadi bahan berita ala kadarnya. Sesudah film tersebut, nama Heuveldorp tidak
pernah terdengar lagi. G. Kruger masih terus melanjutkan.” (Selintas Kilas
Sejarah Film Indonesia, penerbit Badan Pelaksana FFI 1982, hal, 5).
Film "Loetoeng Kasaroeng" dibuat tahun 1926 oleh NV Java Film
garapan L. Heuveldorp dan G. Krugers. L. Heuveldorp sebelumnya sudah
berpengalaman di Amerika, terutama dalam bidang penyutradaraan. Sedangkan G.
Krugers, seorang Indo-Belanda asal Bandung, adik mantu dari Raja Bioskop
Bandung, Buse. Film "Loetoeng Kasaroeng" diputar selama satu minggu
di Bandung, tanggal 31 Desember 1926 sampai dengan 6 Januari 1927, dan cukup sukses.
Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah V, atau yang sering disebut Dalem Haji
sangat besar jasanya dalam mewujudkan lahirnya film “Lutung Kasarung”.
Keberhasilan Heuveldorp dan Krugers dalam mewujudkan film "Loetoeng
Kasaroeng", sedikit banyak berkat dukungan Bupati Bandung RAA
Wiranatakusumah V, yang sangat menyukai cerita legenda Sunda.
Wiranatakusumah memang memiliki kebanggaan dan perhatian besar terhadap
seni budaya Sunda, salah satu usahanya dengan mengenalkan lebih luas cerita
legenda yang hidup di Tatar Sunda melalui seni pertunjukkan. Kwiet de Jonge dan
Mr. Pleyet menggarap cerita klasik Lutung Kasarung menjadi sebuah pertunjukkan
sandiwara yang ditampilkan dalam Java Congres (Kongres Jawa) di Bandung pada
tahun 1921. Pertunjukkan yang menghabiskan biaya cukup besar itu, mendapat
sambutan positif dari peserta kongres juga para pengamat.
Bahkan melalui pertunjukkan tersebut, Tembang Sunda menjadi populer.
Wiranatakusumah sendiri sudah mengenal Tembang Sunda klasik sejak menjadi
Bupati Cianjur Tidak puas hanya dalam bentuk pertunjukkan sandiwara, ketika
Krugers dan Heuveldorp mempunyai rencana untuk membuat film Lutung Kasarung,
Wiranatakusumah bersediamenunjang biaya pembuatan film tersebut..
Pemain-pemainnya, semua warga pribumi - para priyayi, terutama kerabat
bupati Wiranatakusumah. Yang dipercaya untuk memilih pemain juga melatih gerak
dan akting dalah Raden Kartabrata, seorang guru kepala. Kartabrata memiliki peranan
penting dalam mengarahkan para pemain.
Pembutan film Lutung Kasarung berjalan lancar, karena untuk segala macam
fasilitas di lapangan didukung oleh berbagai pihak, termasuk kesatuan Zeni yang
memberikan bantuan lampu sorot.
Sosok "lutung" dimainkan oleh Martonana, sedang setelah menjelma
jadi pangeran diperankan oleh Oemar. Untuk menggambarkan Kahyangan - tempat
bersemayam Sunan Ambu, dipilih sebuah lubang pada batu karang yang sebelumnya
didinamit dulu.
Pertunjukkan perdana film "Loetoeng Kasaroeng" berlangsung di
bioskop kelas satu Elita yang terletak di alun-alun Bandung, dan di bioskop Oriental, pada Jum'at
malam 31 Desember 1926. Sengaja dipilih malam tahun baru, untuk menarik
perhatian penonton. Promosi film tersebut cukup gencar, antara lain melalui
mingguan De Locomotief , koran Kaoem Moeda, an De Indische Telegraaf.
Karnadi dan Eulis Acih
PERMULAAN tahun 1920, di Bandung berdiri perusahaan film NV Java Film
Company
yang didirikan L. Heuveldorp dan G. Krugers. Pada awalnya, perusahaan film
tersebut banyak membuat film dokumenter. Tetapi pada tahun 1926, NV Java Film
Company mulai membuat film cerita berdasarkan cerita rakyat Sunda
"Loetoeng Kasaroeng". L. Heuveldorp yang menjadi sutradara merangkap
produser, sedangkan G. Krugers menjadi piñata kamera. Film "Loetoeng
Kasaroeng" diputar pertamakali di Elita dan Oriental Bioscoop, Bandung.
Setelah film "Loetoeng Kasaroeng", Heuveldorp tidak kedengaran
aktivitasnya lagi, sedangkan G. Krugers pada tahun 1927 mendirikan perusahaan
film sendiri Krugers Filmbedrijf. Produksi filmnya, antara lain "Eulis
Atjih", dan "Karnadi Anemer Bangkong", berdasarkan buku karya
sastrawan Sunda, Joehana.
Buku "Karnadi Anemer Bangkong" merupakan buku yang cukup laris.
Tapi ketika dibuat film, banyak yang protes, sebab dalam film tersebut ada adegan orang
pribumi (Karnadi) makan bangkong (kodok) karena dagangannya tidak laku. Adegan
tersebut dianggap mempermalukan orang Sunda. Karnadi sendiri memang seorang
pemuda buruk rupa, bandar bangkong (pemborong katak), yang ingin mempersunting
gadis cantik bernama Eulis Awang.
Buku karya Joehana lainnya yang dibuat film "Eulis Atjih", sebuah
drama rumah tangga. Film tersebut diputar di Bandung bulan Agustus 1927. Sedang
di Surabaya diputar di bioskop Orient dari tanggal 8 hingga12 September 1927.
Koran Pewarta Soerabaja memberikan resensi yang baik, bahkan melaporkan bahwa
selama pertunjukkan film tersebut selalu dibanjiri penonton. Bahkan film
"Eulis Atjih" sempat diputar di Singapura.
Kisah "Eulis Atjih" dibuat kembali tahun 1954 oleh Ardjuna Film
milik Tan & Wong, disutradarai Rd. Arifin. Pemainnya S. Bono sebagai Arsad,
dan Sri Uniati sebagai Eulis Atjih. Dalam film tersebut, nama pengarangnya
dicantumkan.
Yang menarik, dalam laju perjalanan produksi film Indonesia, cukup banyak
film Indonesia yang mengambil setting atau cerita dari Tatar Sunda, kecuali
"Loetoeng Kasaroeng", ada lagi film "Bunga Ros dari
Cikembang" (1930), "Rampok Preanger", "Tjiandjoer"
(1938), "Tjiung Wanara" (1941), "Airmata Mengalir di
Tjitarum", dll. Bahkan dalam film "Tjiandjoer" garapan The Teng
Chun, begitu kental menampilkan warna kasundaan, dengan menampilkan lagu-lagu
Sunda.
Tahun 1960-an NV Perfini pernah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten
Bandung, yang waktu itu dipimpin oleh Bupati Kabupaten Bandung, R. Memed
Ardiwilaga BA, membuat film "Anak Anak Revolusi" yang disutradarai
Usmar. Para pemainnya; Soekarno M. Noer, Wahab Abdi, Mieke Wijaya, Rita Zahara,
Rachmat Hidayat, Arman Effendy, dan Rikrik RM.
Kemudian tahun 1961, Perfini bekerjasama dengan Daswati (Daerah Swatantra
Tingkat) II Bandung menggarap film "Toha Pahlawan Bandung Selatan"
disutrdarai oleh Usmar Ismail. Pemeran utamanya Ismed M. Noer, Mieke Wijaya dan
pendatang baru dari Bandung Mila Karmila.
Pada tahun yang sama perusahaan film di Bandung, Harapan Film, menggarap
film "Karena Daster" yang disutradarai Nawi Ismail. Pemainnya; Mang
Topo, Us Us, Noortje Sopandi, dan Mila Kamrmila. Harapan Film kemudian membuat
film "Panon Hideung", masih dengan sutradara yang sama, juga
pemainnya sama; Us Us dan Noortje Sopandi.
Tahun 1966, PT Bandung Azwa Film Corp. membuat film "Tikungan
Maut" yang disutradarai Nyak Abbas Acup. Pemeran utamanya Rachmat Hidayat
dan Nani Wijaya. Dalam film tersebut, Rachmat sedang menggandrungi motor besar,
memerankan tokoh dengan nama yang sama, akibat putus asa ia nead ingin mati di
arena balap. Karena kehabisan biya, filmnya sendiri baru selesai tahun 1968 dan
beredar tahun 1973.
Tahun 1975, bintang film asal Bandung Tuty Soeprapto, mendirikan PT Diah
Pitaloka Film, film pertamanya "Si Kabayan" yang dibintangi oleh Kang
Ibing dan Lenny Marlina. Lenny Kebaya Daya Mahasiswa Sunda, yang langsung
dipercaya oleh sutradara Usmar Ismail menjadi pemeran utama film
"Ananda". Melalui film tersebut, Lenny mendapatkan penghargaan dalam
Festival Film Asia Pacifik. PT Diah Pitaloka kemudian membuat film "Dukun
Beranak" (Paraji Sakti), dan kisah nyata "Mat Peci Pembunuh Berdarah
Dingin".
Film "Si Kabayan" dan "Dukun Beranak"
cerita/skenarionya ditulis oleh sastrawan Sunda terkemuka Rachmatullah Ading Affandi (RAF). Tahun 1989, PT Kharisma Jabar
Film melakukan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jabar – yang saat itu
dipimpin oleh Gubernur Jabar H. Yogie S. Memet, menggarap film "Si Kabayan
Saba Kota", "Si Kabayan dan Gadis Kota", "Si Kabayan dan
Anak Jin", serta "Si Kabayan Saba Metropolitan". Ketika Yogie
diganti oleh Gubernur baru H.R. Nuriana, produksi kerjasama masih berlanjut
dengan menggarap film "Si Kabayan Mencari Jodoh".
Rd. Mochtar Sang Bintang
Idola
SEKITAR tahun 1933, seorang lelaki berperawakan tinggi tegap, berwajah
tampan, mengendarai motornya di Jalan Braga. Ia merasa kaget, sewaktu sebuah
mobil menguntitnya dari belakang. Apalagi karena pada masa itu sedang
hangat-hangatnya dilakukan pemberantasan terhadap para pelaku homoseks. Ia
mengira, jangan-jangan Belanda yang menguntitnya itu menyangka dirinya lelaki
homo, atau sebaliknya orang Belanda itu sendiri yang homo. Ternyata orang Belanda it uterus
mengikutinya hingga ke rumah. Dan diluar dugaan Rd. Mochtar – nama lelaki itu,
orang Belanda itu memperkenalkan namanya, Albert Balink, produser dan sutradara
film.
"Rupanya ia sudah lama memperhatikan wajah saya, karena kemudian ia
langsung menawari saya main dalam film Pareh. Saya tidak segera menerima
tawaran itu, bahkan mencoba menolak. Tapi Albert Balink terus meyakinkan saya,
bahwa sayalah orang yang paling tepat untuk pemeran utama dalam film
tersebut.", ungkap Rd. Mochtar, ketika tahun 1984 mengantar penulis untuk
mencari lokasi pabrik gaplek di daerah Bojongloa, yang pernah dijadikan tempat
perusahaan film Wong Brothers.
Memang, Albert Balink sudah berbulan-bulan mencari pemain yang cocok dengan
apa yang diinginkannya, seorang pemuda desa yang menarik dan gagah. Semua itu
justru ada pada sosok Rd. Mochtar. Sedangkan pasangan R. Mochtar dalam film "Pareh", R. Soekarsih,
terpilih menjadi pemeran utama wanita dalam film tersebut, juga diluar
dugaannya. Ketika itu, ia yang berasal dari Cihonje, Ciawi, Tasikmalaya,
mengantar ibunya ke Bandung, berkunjung ke rumah familinya. Saat itu tersiar
kabar, Albert Balink membutuhkan seorang pemain wanita untuk film
"Pareh". Kakak sepupu R. Soekarsih, nampaknya berminat untuk melamar.
Ia mengajak Soekarsih menemui Albert Balink. Tapi Albert Balink justru lebih
telaten menanyakan alamat Soekarsih, bahkan berkali-kali memotret Soekarsih.
Akhirnya, Albert Balink memilih Soekarsih yang saat itu baru berusia 14 tahun,
untuk pemeran utama film "Pareh". Pasangan Rd. Mochtar dan R.
Soekarsih kemudian merajut cintanya hingga ke pelaminan. Dan usia perkawinan
keduanya langgeng sampai akhir khayat. Dalam dokumentasi film di Sinematek
Indonesia, film "Pareh" dibuat pada tahun 1935. Tapi menurut Rd.
Mochtar, film tersebut dibuat pada tahun 1933 dan beredar pada tahun 1934.
Menurut H. Misbach Jusa Biran, dokumentasi film "Pareh" masih
tersimpan di Belanda. "Film Pareh memang merupakan film Indonesia pertama
yang sanggup menarik perhatian luas. Pareh menceritakan percintaan yang
dilarang oleh adapt lama, antara anak petani dan nelayan. Banyak yang menulis dan memuji. Franken
memperkenalkan kepada film Indonesia camera
set up yang dinamis dan artistik. Dan sebagaimana keahlian Franken, maka segi documenter dari film ini
menonjol. Dalam pemasarannya film tidak mampu mengembalikan modal pembuatan
yang begitu besar. Khsususnya karena penonton pribumi dan Cina tidak cukup
terpanggil. Balink dan Wong bangkrut." (H. Misbach Jusa Biran,
"Selitas Kilas Sejarah Film Indonesia", hal. 9).
Sistim pembayaran honorarium saat itu, menurut Rd. Mochtar dihitung
perbulan. Tiap bulan Rd. Mochtar menerima 100 gulden, sedangkan Soekarsih 50
gulden. Lama pembuatan filmnya sekitar satu tahun.
Film "Pareh" yang diproduksi oleh Java Pasific Film, memang
sangat menonjol kekuatan gambar-gambarnya. Tidak salah kalau Albert Balink
mendatangkan seorang tokoh film dokumenter dari Belanda, Mannus Franken, yang
diberi kepercayaan menyutradarai film "Pareh".
Albert Balink adalah seorang Indo Belanda, wartawan koran domestik
berbahasa Belanda "De Locomotief". Ia tidak punya pengetahuan apa-apa
tentang cara pembuatan film, kecuali dari buku. Ia hanya punya ambisi besar
membuat film cerita yang hebat. Setelah berhasil mendapatkan modal pinjaman, ia
mengajak Wong Bersaudara melakukan kerjasama menggarap film "Pareh". Saham
Wong adalah peralatan dan menangani teknis, sedangkan uang dan penyutradaraan
urusan Albert Balink (penyutradaraan dipercayakan kepada Mannus Franken).
Kenyataannya, meskipun film "Pareh" dianggap sebagai film bermutu dan
film penting, tapi film tersebut membuat mereka bangkrut.
Melalui perusahaan film lainnya, Algemen Nederlandsch Indie Film (ANIF),
Albert Balink bersama Wong Bersaudara mampu menebusnya dengan film "Terang
Boelan" (1937), yang sukses luar biasa, hingga mendatangkan keuntungan
yang melimpah ruah, akibatnya nasib Wong Bersaudara yang terancam bangkrut jadi
tertolong.
Film "Terang Boelan", menggambarkan kehidupan desa dengan tekanan
pada romantik bulan purnama, diiringi tari dan nyanyi yang ditampilkan oleh
glamour girl, Miss Roekiah, yang bergaya ala Dorothy Lamour, bintang Hollywood
saat itu yang paling mashur.
Rd. Mochtar dan Miss Roekiah, boleh dibilang sebagai bintang idola pertama
dalam sejarah film Indonesia. Keduanya begitu dipuja dan digandrungi masyarakat
saat itu. Roekiah, kelahiran Bandung, usianya terbilang pendek. Lahir 1917 dan
meninggal tahun 1937. Ia menikah dengan orang film juga, Kartolo, dan kelak
melahirkan seorang putra yang dikenal sebagai penyanyi "Patah Hati",
juga pemain film, Rachmat Kartolo.
Tarzan Indonesia
KEHADIRAN orang Sunda dalam pentas film Indonesia terus melaju
berkesinambungan. Bahkan banyak yang melesat jadi bintang idola, bintang yang
digandrungi masyarakat. Tahun 1939, Java Industrial Film (JIF) menggarap film
"Alang-Alang" yang disutradarai Tan TengChun, sebuah film yang
melahirkan julukan "Tarzan Indonesia" bagi pemeran utamanya, Moch.
Mochtar.
Selanjutnya, makin banyak saja orang Sunda yang kemudian dikenal sebagai
bintang idola, antara lain Sofia WD ("Air Mata Mengalir di Citarum"),
Komalasari ("Ratapan Ibu", 1950), Bing Slamet ("Menanti
Kasih", 1950), Tina Melinda ("Lutung Kasarung", 1952), Tuty S. ("Ibu
dan Putri", 1955), Dian Anggraeni ("Guntur", 1955), Titin
Sumarni "Lewat Jam Malam", 1954), Nany Wijaya ("Darah
Tinggi", 1960), Noortje Sopandi ("Karena Daster", "Panon
Hideung", 1961), Rahayu Effendi ("Matjan Kemayoran"), hingga
Rachmat Hidayat dan Mila Karmila yang muncul melalui film "Toha Pahlawan
Bandung Selatan" (1961).
Khusus menganai Rachmat Hidayat, ia akan tercatat sebagai aktor penuh prestasi
yang tetap konsisten tinggal di Bandung. Berkali-kali menerima penghargaan
Piala Citra, Piala PWI Pusat, dan Piala FFB. Dedikasinya juga tak diragukan
lagi, sebab ia terus menerus terpilih menjadi Ketua Persatuan Artis Film
(Parfi) Jawa Barat. Puluhan film dan sinetron telah dibintanginya. Ia
mendapatkan Piala Citra sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik melalui film "Pacar
Ketinggalan Kereta" (Teguh Karya - 1979), dan Pemeran Pembantu Terbaik
melalui film "Boss Carmad" (Chaerul Umam). Rachmat juga sempat
menjadi produser "Tikungan Maut" karya Nyak Abbas Acup ((1966)
berpasangan dengan Nany Wijaya.
Patut dicatat pula nama-nama bintang film asal Bandung yang muncul dalam
film tempo dulu, seperti Ining Resmini dan R.Oemar Partasoewanda yang tampil
dalam film "Rampok Preanger" (1928), "Lari ke Arab" (1930),
dan "Si Pitung" (1931). Ining, dikenal sebagai penyanyi keroncong
terkenal dari radio Nirom, Bandung.
Kiprah orang Sunda di dunia film terus berlanjut hingga sekarang, bahkan
pada saat menjamurnya sinetron. Yang menonjol prestasinya, antara lain Lenny
Marlina – ditemukan oleh Usmar Ismail dan langsung diberi kepercayaan sebagai
pemeran utama film "Ananda".
Sejak itu, Lenny melesat jadi bintang film paling laris dan berkali-kali
mendapatkan penghargaan sebagai pemain terbaik. Kemudian Hasan Sanusi, Yati Octavia, Paramitha
Rusady, Desy Ratnasari, Dede Yusuf, dll. Bahkan juga pelawak yang terjun ke
dunia film, seperti Bing Slamet, Us Us, Kang Ibing, Dedi Gumelar (Miing
Bagito), dll. Dede Yusuf bahkan terpilih sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat. Di
dunia film dan sinetron khsususnya dan di dunia selebritis umumnya, orang Sunda
memang berperan sangat besar. Setidaknya, begitu banyak orang Sunda yang sukses
mengukir prestasi di Jakarta.
Kini Bandung termasuk gudangnya
sineas film Independen. Banyak sutradara muda Independen dari Bandung - apakah
itu pelajar SLA atau mahasiswa, yang berprestasi dalam Festival Film
Independen, baik nasionanal atau internasional. Beberapa kampus universitas di Bandung menyelenggarakan
Festival Film Independen dan Festival Film Pendek.
Sinden dan Dalang
Menurut keterangan Rd.Mochtar,
dalam film "Pareh", ada adegan pertunjukkan wayang golek. Peran
dalang dimainkan oleh seorang pemuda Bandung
bernama Oemar. Rd. Mochtar sendiri sebagai pemeran utama film tersebut
berpasangan dengan artis asal Tasikmalaya R.Soekarsih – yang kemudian jadi
istri Rd.Mochtar. Pasangan Rd.Mochtar dan R.Sukarsih, tetap harmonis hingga
akhir hayatnya, dalam usia lebih dari 70 tahun.
"Oemar itu kemudian dikenal
sebagai dalang, bahkan salah seorang tokoh padalangan di Jawa Barat. Padahal
ketika ia memainkan perannya sebagai dalang, sebelumnya ia tak pernah dikenal
sebagai dalang. Makanya ketika ia memainkan wayang golek dalam film itu, masih
nampak kaku," tutur Rd.Mochtar, sewaktu diwawancarai menjelang
berlangsungnya FFI’85 di Bandung .
Menurut data dari Sinematek
Indonesia, Oemar juga main dalam film yang diproduksi Halimun Film, dalam film
"Rampok Preanger" (1928), "Lari ke Arab" (1930), dan
"Si Pitung" (1931), berpasangan dengan penyanyi keroncong dari radio
Nirom, Bandung, Ining Resmini. Akan halnya sinden beken asal jalan Cagak,
Subang, Titim Fatimah, bersama sinden terkenal lainnya Mimi Mariani sempat
muncul dalam film "Si Kembar" (1961) produksi Gema Masa Film. Dalam
film itu, Titim membawakan lagu "Karawitan", dan
"Kulu-kulu", sedangkan Mimi Mariani membawakan lagu "Kerja
Bakti". Titim Fatimah dikenal sebagai sinden yang bersuara tinggi, kadang
terkesan "genit", dengan lengkingannya yang membuat gemas dan selalu
mengundang tepuk-tangan penonton. Bahkan ia dikenal sebagai sinden yang
memiliki improvisasi suara yang luar biasa.
Sinden termashur lainnya, yang
memiliki karakter suara bertolak belakang dengan Titim adalah Upit Sarimanah. Upit bersuara lembut membuai dan mendayu.
Ia tampil dalam film "Kasih Tak Sampai" produksi PT Sarinande Film,
yang disutradarai Turino Junaedy. Upit, yang saat itu berusia 33 tahun,
memerankan seorang pelayan yang melahirkan anak hasil hubungan gelap. Ia juga
membawakan dua buha lagu, yaitu "Cemplang" dan "Ceurik
Anjani".
Bila dibandingkan dengan keadaan saat ini, dimana seniman seniwati tradisi
popularitasnya terus menerus tersisih, maka pengaruh kehadiran sinden beken
seperti Titim, Upit, dan Mimi Mariani dalam film Indonesia, bisa dikatakan
"luar biasa". Rasanya akan sulit kita temukan lagi, seorang sinden
yang tampil dalam film, lalu membawakan satu atau dua buah lagu Sunda. Para
produser sekarang rasanya mustahil, akan berani menampilkan sinden sebagai pemain,
apalagi dengan lagu andalannya.
Tentu harus disebut pula nama Tati Saleh, seorang penembang serba bisa,
yang juga menonjol jika melantunkan lagu-lagu sinden. Tati Saleh, pernah tampil
dalam sejumlah film Indonesia, antara lain "Nyi Ronggeng" (Alam
Rengga Surawijaya), "Gadis Marathon" (Chaerul Umam), dan "Si
Kabayan Saba Kota" (H.Maman Firmansyah). Sedangkan dalang yang kaya dengan
kreasi, Asep Sunandar Sunarya, juga sempat muncul sebagai dukun dalam film
"Si Kabayan dan Gadis Kota".
Seandainya saja dokumentasi film yang dibintangi Titim, Upit, Mimi Mariani,
dan Oemar itu masih ada, tentu kita bisa menyimak kembali sosok mereka melalui
film. Sayangnya, dalam hal dokumentasi film tempo dulu, banyak yang tidak
terselamatkan. Masih untung ada tokoh perfilman yang penuh dedikasi seperti
H.Misbach Jusa Biran dan S.M. Ardan. Ketika Misbach masih menjabat sebagai
Kepala Sinematek Indonesia, dengan dana yang terbatas, ia masih bisa
menyelamatkan beberapa buah film "klasik" yang ia dapatkan di
gudang-gudang atau yang hampir terbuang. Begitu juga ketika H.Misbach Jusa
Biran ingin meneliti film-film tempo dulu demi kepentingan Sinematek Indonesia,
untuk menyaksikan film "Pareh" saja, ia harus datang ke Belanda,
sebab film tersebut sudah menjadi milik sinematek di Belanda.
Karya Sastra Sunda
APABILA menyimak kembali lembaran sejarah film Indonesia, mulai dari film
pertama yang dibuat di Indonesia hingga saat ini, rasanya jarang ditemukan film
yang menggunakan bahasa Sunda atau bahasa daerah lainnya. Padahal Kota Bandung
dikenal sebagai tempat lahirnya film pertama yang dibuat di Indonesia, bahkan
cerita yang dipilihnya juga merupakan cerita rakyat rayat Sunda "Loetoeng
Kasaroeng" (1926) garapan L.Heuveldorp (Belanda) dan G.Krugers (Jerman)
pemilik NV Java Film.
Setelah menggarap film "Lutung Kasarung", kegiatan Heuveldorp
tidak pernah kedengaran lagi. Akan halnya Krugers, ia mendirikan perusahaan
film baru Krugers Filmbedrijf. Produksi filmnya, antara "Karnadi Anemer
Bangkong" dan "Eulis Atjih" (1927), keduanya masih merupakan
film bisu. Film "Karnadi Anemer Bangkong" dan "Eulis Atjih"
itu berdasarkan buku cerita Sunda karya pengarang Sunda Joehana. Boleh dibilang
buku karya sastra yang pertamakali dibuat film adalah karya sastra berbahasa
Sunda "Karnadi Anemer Bangkong", disusul kemudian dengan "Eulis
Atjih".
Film "Pareh", termasuk film yang mendapat pujian dari para
pengamat, karena kualitasnya dianggap menonjol. Ceritanya mengenai kisah cinta
anak petani dan nelayan yang terhalang aturan adat. Pemeran utamanya, pemain
asal Cianjur yang ditemukan Albert Balink, Rd.Mochtar, dan pemain asal Cihonje,
Tasikmalaya, R. Sukarsih. Yang menonjol dari film "Pareh", terutama
gambar-gambar dan artistiknya. .
Jika menilik data sejarah film Indonesia, film Indonesia tempo dulu, yang
umumnya digarap oleh keturunan Belanda dan Tionghoa, kebanyakan menggunakan
latar-belakang kehidupan orang Sunda. Seperti dalam film "Bunga Ros dari
Cikembang" (1930) produksi The Bersaudara, menceritakan juragan turunan
Tionghoa yang kawin dengan wanita Sunda, menggunakan setting kehidupann di
sekitar perkebunan. Dalam bukunya, memang ada dialog bahasa Sunda, juga lirik
lagu Sunda.
Cerita Lutung Kasarung dibuat film lagi tahun 1952, antara lain dibintangi
oleh Tina Melinda. Malahan tahun delapan puluhan, cerita Lutung Kasarung juga diproduksi
oleh PT Inem Film.
Tahun 1951, Star Film menggarap film "Tjioeng Wanara", yang
disutradarai Rd.Arifin, pemeran utama wanitanya Elly Yunara. Umumnya film
cerita rakyat atau legenda Sunda yang pernah dibuat film, sejak tahun 30-an
hingga tahun 50-an, hampir tak ada dokumentasinya di Sinematek Indonesia.
Karya sastra Sunda yang pernah dibuat film, jumlahnya tidaklah banyak.
Diantaranya buku novel karangan Aam Amilia "Sanggeus Halimun Peuray"
produksi Dewan Film Nasional (DFN) yang disutradarai Sofia WD. Pemeran utamanya
Alan Nuary dan Nungky Kusmastuti. Skenarionya ditulis oleh N.Riantiarno,
dramawan, pemain film, dan pimpinan Teater Koma.
Meskipun Riantiarno menerjemahkeun dialog-dialog Sunda kedalam bahasa
Indonesia, tapi "rasa sunda-nya" tetap terjaga, sebab ada
kalimat-kalimat, atau sebutan khas Sunda yang tetap dipertahankeun. Begitu pula nama-nama tokohnya, yang
memang terasa nyunda.
Karya sastra Sunda lainnya yang dibuat film, "Carmad", karangan
Tjandrahayat, produksi PT Virgo Putra Film. Judulna diganti jadi "Boss
Carmad", disutradarai oleh Chaerul Umam. Pemeran tokoh Carmad, aktor
kawakan Deddy Mizwar. Sedangkan yang memerankan tokoh Nyi Sutirah, Paramitha
Rusady. Skenarionya ditulis oleh dramawan, sutradara serta pengarang ternama
Putu Wijaya, pimpinan Teater Mandiri. Sama halnya dengan Riantiarno, Putu juga mampu
mempertahankan identitas kesundaan dalam cerita Carmad. Bahkan walaupun sutradara
Chaerul Umam Jawa tulen, tapi sewaktu menghidupkan suasana kesundaan terasa lebih
teleb, lebih mendalam. Termasuk juga dengan ditampilkannya adegan kesenian tradisional
garapan Dasentra Group. Film "Carmad" mendapatkan pujian dari para
pengamat, bahkan dalam Festival Film Indonesia (FFI), salah seorang pemainnya,
Rachmat Hidayat, terpilih sebagai "Pemeran Pembantu Pria Terbaik".
Cerita yang paling populer dibuat film, tentu saja cerita Si Kabayan. Taun
1975, PT Diah Pitaloka Film, membuat film "Si Kabayan". Tokoh Si
Kabayan diperankan oleh Ibing Kusmayatna, sedangkan tokoh Nyi Iteung diperankan
oleh Lenny Marlina. Penulis skenarionya, pengarang Sunda terkenal yang telah
mempopulerkan cerita Si Kabayan di TVRI, RAF. Begitu pula dalam dua produksi
film PT Diah Pitaloka Film lainnya, "Dukun Beranak" (Paraji Sakti)
dan "Ratu Ular", tetap menggunakan setting Sunda, juga menyelipkan dialog
bahasa Sunda.
Film "Si Kabayan Saba Kota", merupakan satu-satunya film daerah –
produksi PT Kharisma Jabar Film dan Pemda Provinsi Jabar, yang berhasil menjadi
film box office. Bahkan dalam sejarah produksi film daerah, hanya film Si
Kabayan yang mampu bertahan hingga mencapai beberapa serial. Setelah sukses
film "Si Kabayan Saba Kota", dilanjutkan dengan film "Si Kabayan
dan Gadis Kota", "Si Kabayan dan Anak Jin", "Si Kabayan
Saba Metropolitan", dan "Si Kabayan Mencari Jodoh". Pemain yang
memerankan tokoh Si Kabayan, tetap Didi Petet, tapi yang memerankan tokoh Nyi
Iteung berganti-ganti, mulai dari Paramitha Rusady, Nike Ardilla, hingga Desy
Ratnasari.
Sesungguhnya cukup banyak karya sastra Sunda yang akan "sukses"
jika dibuat film atau sinetron, sebab ceritanya tak kalah menarik dibandingkan dengan cerita film
atau sinetron yang sukses. Misalnya saja buku cerita "Baruang ka Nu Ngarora"
(DK Ardiwinata), "Mugiri" (Joehana), "Sri Panggung"
(Tjaraka), "Burak Siluman" (Muh. Ambri). Sayangnya, hingga kini
jarang ada produser yang tertarik dengan karya sastra daerah. Entahlah
seandainya ada karya sastra Sunda yang diterjemahkeun dulu kedalam bahasa
Indonesia. Seperti halnya cerpen karangan Iskandarwassid "Sri Panggung
Doger Karawang", bisa terbaca oleh Teguh Karya, setelah Teguh membaca buku
kumpulan cerpen "Dua Orang Dukun", yang berisi cerpen-cerpen Sunda
pilihan, terjemahan Ajip Rosidi.
Apabila kita ingin menyaksikan karya sastra Sunda yang dibuat film atau
sinetron, dengan menggunakan bahasa Sunda, tentu saja harus dimulai oleh pihak
Pemerintah Daerah atau pengusaha Sunda yang besar perhatiannya terhadap
keberadaan bahasa dan sastra Sunda. Tidak mustahil film yang menggunakan bahasa
Sunda akan sukses dan diminati penonton etnis daerah lainnya. Jika akan
diedarkeun di daerah lainnya, yang tidak berbahasa Sunda, bukankah bisa
menggunakan teks Indonesia?
Sampai kini, belum ada yang memulai membuat film berbahasa Sunda atau film
daerah lainnya., dengan menggunakan teks bahasa Indonesia. Padahal andai saja ada yang berani "memelopori", dan filmnya ditakdirkan sukses, seterusnya tidak
mustahil akan banyak lagi film daerah yang menggunakan bahasa daerah. Mengangkat
derajat bahasa dan sastra Sunda akan lebih terasa manfaatnya, apabila banyak
film atau sinetron berdasarkan karya sastra Sunda yang menggunakan bahasa
Sunda.
Sebuah film yang digarap dengan baik, akan selalu menjadi sesuatu yang
sangat berharga sebab akan bisa terus dinikmati dari generasi ke generasi, menjadi
referensi yang memudahkan sebuah penelitian.. Termasuk kehadiran film yang
mengungkapkan identitas kedaerahan secara utuh, yang kehadirannya didukungkung
oleh Pemerintah Daerah. Tanpa campur tangan Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah
V, belum tentu orang Sunda akan tercatat sebagai salah seorang pelopor lahirnya
film cerita pertama di Indonesia.
Bandung 2004 - 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Apa Itu Sinematek Indonesia, brosur, Sinematek Indonesia.
Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926 – 1978, kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Penerangan RI dan Sinematek Indonesia.
Ardan, S.M., Jejak Seorang Aktor Sukarno M. Noor dalam Film Indonesia, Aksara Karunia, Jakarta 2004.
Ardan, S.M., Setengah Abad Festival Film Indonesia, Panitia Festival Film
2004.
Biran, H. Misbach Jusa, Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia, Badan
Pelaksana FFI’82.
Biran, H. Misbach Jusa, Sejarah Film 1900 - 1950, Bikin Film di Jawa,
Komunitas Bambu, Depok, 2009
Buku Festival Film Indonesia 1983, 1984, dan 1985, Badan Pelaksana FFI
Medan- Yogyakarta-Bandung.
Catatan Kuliah Editing 1975 – 1977, dosen Soemardjono, Akademi
Sinematografi LPKJ.
Hwat, Tan Sing, Belajar Membuat Film, NV Pustaka dan Penerbit Endang,
Jakarta, 1954.
Iskandar, Eddy D., Mengenal Perfilman Nasional, CV Rosda, Bandung 1987.
Iskandar, Eddy D., Panduan Praktis Menulis Skenario, PT Remaja Rosdakarya,
Oktober. 1999.
Majalah Aneka, Bintang Film, Duta Layar Putih, Citra Film, Favourite, Film
Varia, "F",
Mayapada, Puspa Wanita, Star News, SFF, Sinema Indonesia, Selecta, Star
Weekly, Terang Boelan, Variasi Putera, Varia.
Pane, Armijn, Produksi Film Cerita di Indonesia Perkembangannya Sebagai
Alat Masyarakat, Majalah Kebudayaan "Indonesia" No. 3 Tahun Ke IV,
Maret 1953.
Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional, Dewan Film
Nasional,
1980.
Pratikto, Herman, Aesthetica & Sejarah Film, Surya, Jakarta.
Report on Indonesia ,
Department of Information Directorate General of Radio Television
Film.
Said, Salim, Profil Dunia Film Indonesia, Grafiti Pers, Jakarta. 1982.
Siagian, Gayus, Sejarah Film Indonesia, Diktat Kuliah pada Akademi
Sinematografi LPKJ 1975-1977.
Siahaan, J.E., Usmar Ismail
Mengupas Film, Sinar Harapan, Jakarta ,
1983.