Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Menulis dan Menonton Film

Sebuah catatan dan cerita awal mula FFB terbentuk
Menjadi penulis, bukanlah cita-cita saya. Tapi membaca buku – terutama novel dan nonton film adalah kegemaran yang sudah terbina sejak kecil. Di SD, saya sudah membaca ‘Si Jamin dan Si Johan’ dan 'Si Doel Anak Betawi’ yang tersedia di perpustakaan sekolah. Keduanya sudah dibuat film. Ketika di SMA saya sering meminjam buku di taman bacaan. Saya membaca Motinggo Boesye 'Malam Jahanam’, Toha Mochtar ‘Pulang’ Armijn Pane ‘Belenggu’ Ajip Rosidi ‘Sebuah Rumah Buat hari Tua; Trisnoyuwomo 'Pagar Kawat Berduri’; Abdoel Moeis ‘Salah Asuhan’; Marah Roesli ‘Siti Nurbaya’; Nur Sutan Iskandar ‘Katak Hendak Jadi Lembu’; Ahdiat Kartamiharja ‘Atheis’; juga keranjingan membaca buku silat Khoo Ping Hoo, Gan KL, dan OKT.
Foto: Kompas
 
Kemudian komik silat Hans Jaladara ‘Panji Tengkorak’, Ganes Th ‘Si Buta dari Goa Hantu’; Djair ‘Jaka Sembung’; U.Syah ‘Pendekar Bambu Kuning’; Man S. ‘Golok Setan’; hingga RA Kosasih baik lakon wayang atau pun jagoan wanita ‘Sri Asih’. Sebelumnya saya sempat menikmati komik dari Medan karya Taguan Harjo Bahzar.

Sejak di SD pula saya rajin menon ton film di bioskop, antara lain di bioksop Panghegar atau Sahati di Bandung. Menonton film ‘Toha Pahlawan Bandung Selatan’ (Usmar Ismail). ‘Pejuang’ (Usmar Ismail) juga film India yang dibintangi pasangan Mahipal dan Shakila, atau film ‘Hercules’. Sempat juga nonton film Filipina yang populer ‘Darna’.

Menonton film dan membaca buku tanpa terasa telah menjadi suatu kebutuhan . Saya nonton hampir semua film Indonesia yang diputar di bioskop Bandung antara lain film ‘Pengantin Remaja’; film ‘Romi dan Yuli’; ‘Di mana kau Ibu’; Rio Anakku’; ‘Si Pitung’; ‘Si Buta dari Goa Hantu’; ‘Ratapan Anak Tiri’; ‘Biarlah Aku Pergi’; ‘Perkawinan Ananda’; ‘The Big Village’; ‘Bernafas Dalam Lumpur’; ‘Noda Tak Berampun’; ‘Apa yang Kau Cari Palupi?’; Perawan di Sektor Selatan’; ‘Wajah Seorang Lelaki’; ‘Cintaku Jauh di Pulau’; ‘Di Balik Cahaya Gemerlapan’; ‘Cinta Putih Bengawan’; ‘Solo’; dan lainnya

Saya jadi hafal nama sutradara Wim Umboh, Nyak Abbas Akup, Usmar Ismail, Teguh Karya, Has Manan, Alam Surawijaya, Nawi Ismail, Misbach Jusa Biran,Ami Priyono, Sumanjaya, Samsul Fuad, Asrul Sani Khairul Umam, Motinggo Boesye, Turino Junaedy, dan lainnya. Begitu juga nama pemain film seperti Suzanna, Chitra Dewi, Mieke Wijaya, Rachmat Hidayat, Ratno Timur, Dicky Suprapt, Muny Cader, Rima Melati, Wahab Abdi, Maruli Sitompul, Sophaan Sophiaan, Widyawati, Rina Hassim, Dicky Zulkarnaen, Rano Karno, Rima Melati, Nani Wijaya, Bambang Irawan Bambang Hermanto, Rendra Karno, Sofia WD WD Mochtar, Rahmat Kartolo dan lainnya.

Kebiasaan membaca buku, terutama novel memacu saya untuk menulis fiksi. Saya mencoba membuat cerita pendek ternyata cerita pendek itu dimuat dan dikomentari oleh pengasuh rubrik budaya mingguan tersebut Muh. Rustandi Kartakusumah. Saya juga mencoba menulis cerpen di majalah ‘Aktuil’, majalah musik ternama saat itu. Redaktur cerpen Aktuil adalah seniman mbeling Remy sylado. Ternyata cerpen itu dimuat selanjutnya saya menulus lebih banyak lagi. Selanjutnya saya menulis lebih banyak lagi.

Rasa percaya diri menjadi seorang penulis puisi menyebabkan saya juga mencoba menulis resensi film., beberapa tulisan dimuat dalam surat kabar mingguan. Saya mendaftar menjadi mahasiswa Akademi Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta), tahun 1975, saya tunjukkan kliping tulisan saya mengenai film ‘Karmila’ garapan Ami Priyono berdasarkan novel Marga T. Tulisan itu direspon oleh dekan Akademi Sinema Sinematografi LPKJ - yang menjadi salah seorang penguji almarhum Soemardjono. Bahkan Somardjono sempat meyakinkan “kalau kamu menjadi penulis skenario kamu harus seperti Motinggo Boesye. Bukan hanya mendapatkan honorarium sebagai penulis cerita, dan penulis skenario bahkan hanya dengan membuat judul saja dibayar mahal”.

Setelah saya membuat sejumlah novel remaja yang menjadi trending topic saat itu - tahun 1977 dan kemudian dibuat film saya bisa mewujudkan tantangan Pak Soemardjono membuat judul pun dibayar cukup mahal.

Perkenalan saya dengan Ir. Chand Parwez Servia menjelang diselenggarakannya Festival Film Indonesia atau FFI 1985 di Bandung. Karena ia jadi salah seorang panitia, berlanjut ajakan berkunjung ke tempat tinggalnya di Jalan Jendral Sudirman 554, Bandung.

Saat itu Parwez belum lama pindah dari Tasikmalaya ke Bandung. Saya diajak nonton di prview room PT Kharisma Jabar film yang juga tempat tinggal Parwez. Parwez kemudian menyampaikan keinginan mengundang seniman budayawan dan wartawan untuk menonton film terbaru di preview room tersebut sebelum film tersebut beredar di bioskop Bandung. Maka berdatanganlah redaktur harian Pikiran Rakyat Suyatna Anirun, H. Us Tiarsa, R. Yayat Hendayana, Bram M. Darmaprawira, Hernawan, dan penulis yang biasa muncul di harian tersebut. Sutardjo A. Wiramihardja, Saini KM, Jacob Sumardjo dan Duduh Durahman. Bahkan Pemimpin Umum Pikiran Rakyat H. Atang Ruswita.

Sebelumnya sudah ada seorang wartawan film yang sejak awal giat giat di Kharisma Jabar Film, Hilman Riphansa, wartawan Pos Film. Mungkin karena Parwez sering menyaksikan – bahkan ikut ikut serta dalam diskusi serta menyaksikan film lalu munculnya gagasan untuk mengumumkan hasil pengamatan tersebut kepada khalayak. Maka dari situlah lahir keinginan untuk mengadakan Festival Film Bandung.
sumber: Tribun
FFB mendapat perhatian lebih serius ketika Ahmad Heryawan menjadi gubernur Jawa Barat apalagi didukung oleh Wakil Gubernur Dede Yusuf dan Kepala Dinas Pariwisata dan budaya provinsi Jawa Barat saat itu H. Herdiwan. Selama Ahmad Heryawan menjadi gubernur belum pernah absen menghadiri acara Puncak FFB . Itu sebuah bentuk perhatian luar biasa dari seorang Gubernur mungkin juga karena beliau tahu, bahwa Bandung adalah tonggak sejarah film Indonesia. Maka boleh dibilang suatu kebanggaan tersendiri ketika acara Puncak FB disiarkan langsung oleh SCTV

Hadirnya aktor film Deddy Mizwar sebagai wakil gubernur Jabar mendorong FFB kian meningkatkan perannya dalam perjalanan film Indonesia.

Kini usia FFB sudah 35 tahun. Semoga akan terus berlanjut, dan tetap hidup dari generasi ke generasi. Saya dan para pendiri FB begitu juga Regu Pengamat dan Regu Pengurus berikutnya mendedikasikan kiprah kami di FFB untuk kemajuan perfilman Indonesia.


Penulis: 
Eddy D Iskandar




Post a Comment

Terima kasih sudah mengunjungi website resmi Festival Film Bandung. Sila tinggalkan jejak di kolom komentar. Hindari spamming dan kata-kata kasar demi kenyamanan bersama.
© Forum Film Bandung. All rights reserved.