Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Ruang Merupakan Basis Penataan Estetik

 “Perencana pentas, bukanlah seseorang yang (hanya) membuat sett/panggung,

melainkan merancang berdasar kepekaan yang selaras

dengan hasrat pengarang dan sutradara.”

(Andreas Reinhardt, 1973)

BEBERAPA waktu yang lalu di Jakarta, saya sempat menghadiri diskusi yang menarik mengenai Tata Artistik Panggung dan Film. Dalam pertemuan tersebut banyak sekali yang hadir, terutama dari praktisi/pekerja seni bidang teater. Bagaimana dan apa hasil dari diskusi ala warung kopi tersebut? Inilah hasilnya yang sempat saya rekam dalam jemala dan tercatat dalam secarik bungkus rokok.

SEBUTAN bagi perencana artistik, yang dialamatkan bagi seseorang yang ) bertanggung memberi andil dalam usaha mengelaborasi ruang serta mengintegrasikan berbagai elemen pendukung lain, seperti setting, setprop, property, dan costum, dasarnya berkelindan dengan kata dekorasi. Misalnya ‘decoratore’ (Italia), ‘decorateur’ (Perancis), ‘decorontwerper’ (Belanda). Istilah tersebut secara ekplisit mempunyai pemaknaan kerja yang bertolak dari usaha menata (mendekorasi).

Berbeda dengan istilah ‘Buhnenbildner’ (Jerman) yang merupakan negasi halus terhadap istilah padanannya yakni ‘austattung’ yang dianggap mengundang konotasi kurang positif, sebab menggaris bawahi kerja menata dan memasang yang cenderung terkategorisasi selaku tukang.           

Gradasi pemaknaan terhadap penggunaan istilah perencana pentas atau penata artistik, memang bukan hanya problem khas yang dirangkul bahasa, tetapi juga terkait langsung dengan tatanan (hierarki) produksi. Bagaimana dan sepenting apa peran dan fungsi perencana Artistik dalam suatu kerangka produksi? Seberapa jauh nilai keputusan artistik itu mempengaruhi ruang dramatik? Pendekatan seperti apa perlu yang ditempuh untuk mengatasi kompleksitas mata rantai kerjanya?

Kerja perencana artistik mestilah bermula dari usaha mengenali, memahami konsep dramatik itu sendiri yang membutuhkan analisa dialektika mengenai aspek philosofi, sejarah maupun politik yang mewarnai spirit produksi keseluruhan. Rasionalisasi ke arah kontribusi (artistik) yang signifikan sewajarnya dimulai melalui diskusi bersama sutradara, ikhwal konsep dramatik, pilihan estetik serta berbagai kemungkinan terbuka yang terkait dengan aspek visual hingga tehnik presentasinya. Tahapan awal yang menentukan itu, tidak menutup kemungkinan berlangsung alot, sebab sutradara sebagai shaper pertunjukan jelas (juga) memiliki gambaran ideal yang dihasratkan.

Kesepakatan yang berhasil dicapai dalam tahap awal, tentu tidak lantas jadi jaminan atas kepastian bentuk final, melainkan jadi postulat untuk diresepsi dan direkreasi dalam rentang proses. Sebab itu kesepakatan yang lahir ditahap awal mesti memiliki kelenturan untuk menerima atau mengakomodir kemungkinan lain yang ditemukan dalam proses.                

Sejalan dengan keputusan-keputusan yang ditempuh sutradara, konsepsi yang hidup dan berkembang di situ merupakan pembacaan kemungkinan yang dibuat berdasar signifikasi yang ketat menuju peristiwa pengadegan film yang dihasratkan. Pencarian dan penemuan kemungkinan untuk sampai manifestasi estetik yang lentur, bisa jadi merupakan jalan panjang menuju rekayasa ruang: tiada menjadi ada, ada menuju ada, ada menjadi tiada, tiada menuju tiada.

 Berkaitan dengan penataan artistik film Indonesia kini sudah mengalami (menuju) kematangan, bila kita merujuk pada paparan di atas, yaitu Riset. Para praktisi insan perfilman, khususnya piñata artistik dan sutradara sudah melangkah menuju hal yang kongkrit demi sebuah film yang mendekati ‘kebenaran’ realitas. Dimana mengolah ‘ruang’ menjadi sebuah keharusan dalam tuntutan konsep sutradara yang merupakan bagian dari sebuah tim kreatif dalam mengimplementasikan apa yang disebut gagasan/ide.

Inilah catatan dan oleh-oleh hasil diskusi ala warung kopi bagi para penggiat pekerja insan film maupun Teater (panggung), yang lebih kurangnya mendapat perhatian khusus terhadap perkembangan perfilman Indonesia. Semoga……. **** (dari berbagai sumber dan diskusi warung kopi).

Penulis:

Agus Safari

Post a Comment

Terima kasih sudah mengunjungi website resmi Festival Film Bandung. Sila tinggalkan jejak di kolom komentar. Hindari spamming dan kata-kata kasar demi kenyamanan bersama.
© Forum Film Bandung. All rights reserved.