“Perencana pentas, bukanlah seseorang yang (hanya) membuat sett/panggung,
melainkan merancang berdasar kepekaan yang selaras
dengan hasrat pengarang dan sutradara.”
(Andreas Reinhardt, 1973)
BEBERAPA waktu yang lalu di Jakarta, saya sempat menghadiri diskusi yang menarik mengenai Tata Artistik Panggung dan Film. Dalam pertemuan tersebut banyak sekali yang hadir, terutama dari praktisi/pekerja seni bidang teater. Bagaimana dan apa hasil dari diskusi ala warung kopi tersebut? Inilah hasilnya yang sempat saya rekam dalam jemala dan tercatat dalam secarik bungkus rokok.
SEBUTAN bagi perencana artistik,
yang dialamatkan bagi seseorang yang ) bertanggung memberi andil dalam usaha
mengelaborasi ruang serta mengintegrasikan berbagai elemen pendukung lain,
seperti setting, setprop, property, dan costum, dasarnya berkelindan dengan
kata dekorasi. Misalnya ‘decoratore’
(Italia), ‘decorateur’ (Perancis), ‘decorontwerper’ (Belanda). Istilah
tersebut secara ekplisit mempunyai pemaknaan kerja yang bertolak dari usaha
menata (mendekorasi).
Berbeda dengan istilah ‘Buhnenbildner’ (Jerman) yang merupakan negasi halus terhadap istilah padanannya yakni ‘austattung’ yang dianggap mengundang konotasi kurang positif, sebab menggaris bawahi kerja menata dan memasang yang cenderung terkategorisasi selaku tukang.
Gradasi pemaknaan
terhadap penggunaan istilah perencana pentas atau penata artistik, memang bukan
hanya problem khas yang dirangkul bahasa, tetapi juga terkait langsung dengan
tatanan (hierarki) produksi. Bagaimana dan sepenting apa peran dan fungsi
perencana Artistik dalam suatu kerangka produksi? Seberapa jauh nilai keputusan
artistik itu mempengaruhi ruang dramatik? Pendekatan seperti apa perlu yang
ditempuh untuk mengatasi kompleksitas mata rantai kerjanya?
Kerja perencana artistik
mestilah bermula dari usaha mengenali, memahami konsep dramatik itu sendiri
yang membutuhkan analisa dialektika mengenai aspek philosofi, sejarah maupun
politik yang mewarnai spirit produksi keseluruhan. Rasionalisasi ke arah
kontribusi (artistik) yang signifikan sewajarnya dimulai melalui diskusi
bersama sutradara, ikhwal konsep dramatik, pilihan estetik serta berbagai
kemungkinan terbuka yang terkait dengan aspek visual hingga tehnik
presentasinya. Tahapan awal yang menentukan itu, tidak menutup kemungkinan
berlangsung alot, sebab sutradara sebagai shaper pertunjukan jelas (juga)
memiliki gambaran ideal yang dihasratkan.
Kesepakatan yang berhasil
dicapai dalam tahap awal, tentu tidak lantas jadi jaminan atas kepastian bentuk
final, melainkan jadi postulat untuk diresepsi dan direkreasi dalam rentang
proses. Sebab itu kesepakatan yang lahir ditahap awal mesti memiliki kelenturan
untuk menerima atau mengakomodir kemungkinan lain yang ditemukan dalam proses.
Sejalan dengan
keputusan-keputusan yang ditempuh sutradara, konsepsi yang hidup dan berkembang
di situ merupakan pembacaan kemungkinan yang dibuat berdasar signifikasi yang
ketat menuju peristiwa pengadegan film yang dihasratkan. Pencarian dan penemuan
kemungkinan untuk sampai manifestasi estetik yang lentur, bisa jadi merupakan
jalan panjang menuju rekayasa ruang: tiada
menjadi ada, ada menuju ada, ada menjadi tiada, tiada menuju tiada.
Berkaitan dengan penataan artistik
film Indonesia kini sudah mengalami (menuju) kematangan, bila kita merujuk pada
paparan di atas, yaitu Riset. Para praktisi insan perfilman, khususnya piñata
artistik dan sutradara sudah melangkah menuju hal yang kongkrit demi sebuah
film yang mendekati ‘kebenaran’ realitas. Dimana mengolah ‘ruang’ menjadi
sebuah keharusan dalam tuntutan konsep sutradara yang merupakan bagian dari
sebuah tim kreatif dalam mengimplementasikan apa yang disebut gagasan/ide.
Inilah catatan dan oleh-oleh
hasil diskusi ala warung kopi bagi para penggiat pekerja insan film maupun Teater
(panggung), yang lebih kurangnya mendapat perhatian khusus terhadap
perkembangan perfilman Indonesia. Semoga……. **** (dari berbagai sumber
dan diskusi warung kopi).