Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Chand Parwez Servia: “OTT Bukan Substitusi Bioskop, Tapi Sebagai Komplementer”

Persoalan OTT/bioskop hanyalah tentang bagaimana konten bisa bertemu dengan penontonnya. Ada yang lebih penting dari itu yakni konten itu sendiri

Menjamurnya layanan OTT (Over-The-Top) dikhawatirkan akan menggeser kebiasaan masyarakat dalam menikmati sebuah konten. Namun produser Starvision, Chand Parwez Servia menegaskan kalau layanan OTT tidak akan bisa menggantikan pengalaman sinematik di bioskop. Sebaliknya, OTT adalah alternatif bagi masyarakat untuk menikmati konten, dan juga ruang baru bagi sineas untuk bisa menayangkan karyanya.

Pernyataan tersebut, Chand Parwez kemukakan dalam kegiatan "Diskusi Film dan Media Baru" pada 25 Maret 2022 yang merupakan bagian dari rangkaian Kongres Badan Perfilman Indonesia (BPI) 2022.

Dalam kesempatan tersebut, lebih lanjut Chand Parwez mengatakan bahwa menonton film di bioskop seperti sudah menjadi budaya, atau istilahnya dikenal dengan 'movie going habit'. Dengan menonton film di bioskop, orang-orang bisa menciptakan kenangan bersama keluarga, teman, dan atau orang-orang terdekatnya.

Selain itu, Chand Parwez juga menjelaskan jika layanan OTT seperti Netflix, Amazon Prime, HBO, dan kawan-kawannya, sudah hadir bertahun-tahun lalu. Dan saat mereka hadir, industri bioskop relatif tidak terganggu sebetulnya.

Hanya saja, popularitas OTT kian meningkat ketika terjadi pandemi, sementara bioskop kena imbasnya dan harus tutup sementara waktu. Sehingga masyarakat menjadikan layanan OTT sebagai alternatif untuk memuaskan hasrat menontonnya.

Konten original, tapi harus bersifat universal

Salah satu kelebihan OTT dibanding bioskop terletak pada jaringan distribusinya. Sebuah konten yang tersedia di OTT memungkinkan diakses oleh seluruh warga dunia. Pertanyaannya, sudah siapkah konten kita dijadikan santapan masyarakat dunia?

Chand Parwez berpendapat kalau konten yang diproduksi untuk OTT harus bersifat universal dan sesuai perkembangan zaman. Chand Parwez yang kini juga aktif memproduksi konten OTT, memberi ilustrasi lewat karya terbarunya, Virgin The Series.

Diskusi dipandu oleh Bowie Benjamin/Raja Lubis

“Dulu waktu saya bikin Virgin tahun 2005, itu saya miris karena ada perempuan remaja yang rela menjajakan keperawanannya di mall demi sebuah handphone. Saat itu ‘kan handphone menjadi barang mewah yang nggak semua orang bisa memilikinya. Sehingga biar ada ‘pride’, remaja tersebut rela melakukan apa saja”, ungkap Chand Parwez bicara tentang secuil kisah di balik layar pembuatan film Virgin yang dibintangi Laudya Cynthia Bella itu.

“Tapi ketika saya buat Virgin The Series di tahun 2022, tentu berbeda pendekatannya dengan tahun 2005. Mulai dari pola pengasuhan orang tua terhadap anaknya, hingga pernak-pernik media sosial saya hadirkan dalam Virgin The Series”, tambah Chand Parwez.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dari pernyataan Chand Parwez tersebut adalah bagaimana sebuah konten bisa diciptakan sesuai dengan keadaan zamannya. Sehingga masyarakat yang menonton bisa dengan mudah terhubung dengan konflik dan cerita yang disuguhkan.

Lalu seperti apa konten yang universal, apakah konten yang sesuai dengan perkembangan zaman, bisa langsung disebut sebagai konten yang universal?

Sepintas bisa saja disebut begitu. Karena perkembangan zaman dan teknologi yang terjadi di Indonesia turut juga dirasakan masyarakat dunia. Malah mungkin, bisa jadi mereka yang lebih dulu merasakannya dibanding Indonesia.

Akan tetapi persoalan konten yang bersifat universal, bukan hanya dari isi kontennya itu sendiri, tetapi juga persoalan teknis, subtitle misalnya. Chand Parwez mengemukakan bahwa peranan subtitle sangat penting agar konten yang ditawarkan bisa dinikmati sesuai dengan kondisi sosial budaya tempat si penikmat itu tinggal.

Chand Parwez mencontohkan serial Spanyol Money Heist yang begitu digilai pecinta film di dunia. Serial tersebut dinilai baik dalam proses translasinya karena mampu memberikan padanan kata yang sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Sehingga ketika menontonnya, akan tercipta kedekatan antara penonton dengan karya.

Persoalan media tayang hanyalah tentang bagaimana sebuah konten bisa bertemu dengan penontonnya. Ada yang lebih penting dari itu yakni konten itu sendiri. 

OTT dan bioskop bisa saling bersinergi

Diskusi ini sebagai bekal awal bagi peserta kongres/Raja Lubis
Turut hadir dalam diskusi tersebut, Clarissa Tanoesoedibjo, selaku Managing Director Vision Plus dan Executive Producer Vision Picture.

Clarissa berbagi pengalamannya yang baru dua tahun saja menggeluti industri OTT lewat layanan Vision+. Ia mengatakan bahwa Vision+ hadir sebagai respon dari peralihan kegiatan masyarakat dalam menonton film.

Ia melihat keadaan ini sebagai peluang. Lantas strategi apa yang dilakukan Vision+?

Clarissa menjelaskan kalau Vision+ mencoba produksi konten original yang berbeda dengan konten yang sudah ada di OTT lain. Vision+ lebih banyak menggarap documentary series seperti Once Upon A Time in Chinatown, sebuah dokumenter tentang kuliner. Atau serial The Waves, dokumenter tentang sejarah dan perjalanan merk Subkultur asli Indonesia.

Penjelasan mengenai strategi Vision+ dalam hal diversifikasi konten mendapat apresiasi dari salah satu peserta diskusi. Menurutnya langkah yang diambil Vision+ terbilang berani karena bermain di ranah konten yang tidak populer. Sementara saat ini sebagian besar konten OTT yang populer adalah seputar drama remaja SMA dan rumah tangga. Seperti 17 Selamanya, Jingga & Senja, dan Layangan Putus yang seringkali dibicarakan warganet di media sosial.

Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan strategi seperti itu, Vision+ meraup keuntungan? Menanggapi pertanyaan tersebut, Clarissa tidak terlalu ambil pusing karena menurutnya setiap karya punya pasarnya sendiri. Dalam dua tahun ini ia bertekad untuk memberikan konten-konten original yang unik sebagai bentuk dukungan Vision+ terhadap khasanah sinema di dunia OTT.

Bahkan dalam beberapa waktu ke depan, Clarissa melalui Vision Picture berencana membuat feature film untuk layar lebar.

Itu artinya, baik Clarissa ataupun Chand Parwez, keduanya sepakat kalau OTT dan bioskop tidak saling menggantikan, melainkan saling melengkapi.

Post a Comment

Terima kasih sudah mengunjungi website resmi Festival Film Bandung. Sila tinggalkan jejak di kolom komentar. Hindari spamming dan kata-kata kasar demi kenyamanan bersama.
© Forum Film Bandung. All rights reserved.