Bahasa, budaya, mitos-mitos, dan simbol-simbol menjadikan suatu masyarakat sebagai satu kesatuan system nilai. Film Indonesiaadalah film dengan bahasa Indonesia, tentang budaya dan masyarakat Indonesia, berdasarkan mitos-mitos dan simbol-simbol Indonesia. Pertanyaannya, apakah budaya, mitos, dan simbol-simbol Indonesia itu? Jawabnya, semua yang telah masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia.
Film Indonesia mempersoalkan nilai-nilai Indonesia itu. Dan nilai-nilai Indonesia itu baru tumbuh, sekurang-kurangnya sejak tahun 1908. Sementara itu masih tumbuh dengan kuat nilai-nilai setempat, yakni daerah-daerah budaya etnik. Maka sering terjadi benturan nilai dalam film Indonesia, manakala film mempersoalkan nilai-nilai budaya etnik dalam pandangan tata nilai Indonesia. Film demikian sering terjebak dalam bias nilai nasional atas budaya etnik. Maka, sebaliknya, pengangkatan nilai-nilai budaya etnik ditinjau dari system budayanya sendiri. Berbicara tentang budaya Bali, berdasarkan tata nilai masyarakat Bali sendiri, meskipun film berbahasa Indonesia.
Film Indonesia, sebagian besar diproduksi di Jakarta dengan tata nilai masyarakat metropolitan dan kosmopolit. Jakarta adalah pintu masuk berdasarkan pandangan metropolit-kosmopolit tadi. Inilah sebabnya, pengaruh budaya film kosmopolit cukup besar andilnya dalam mewarnai tata nilai film Indonesia.
Dan film-film demikian itu hanya dapat berbicara kepada masyarakat yang mendukung tata nilai budaya kosmopolit di bebebrapa kota metropolit Indonesia (Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, Palembang, Makasar, Yogya, Semarang dan lain-lain.).
Berdasarkan orientasi budaya ini, film Indonesia harus menentukan diri berbicara untuk lingkungan masyarakat Indonesia yang mana. Masyarakat Indonesia masih dalam pertumbuhannya menjadi suatu kesatuan budaya berdasarkan budaya-budaya local. Sebagian besar masyarakat justru masih kuat tata nilai lokalnya. Apakah melayani masyarakat metropolis atau masyarakat daerah-daerah? Menilik system produksi dan distribusi film di Indonesia masih kuat system metropolis-metropolisnya, maka film-film berdasarkan system budaya masyarakat kota-kota besar itu menjadi pilihan satu-satunya. Gedung-gedung bioskop baru di kota-kota kabupaten, belum kecamatan.
Karena masyarakat kota-kota besar kebutuhan akan film telah dapat dipenuhi oleh film-film impor, maka produksi film Indonesia harus menghindarkan diri dari peniruan dan penjiplakan film-film asing tersebut. Film Indonesia adalah film yang berbicara masyarakat Indonesia kota-kota besar, dengan cara dan estetika Indonesia yang harus ditentukan. Dengan demikian, dapat kita berbicara tentang “film Indonesia”. Film Indonesia yang demikian itu akan menyuguhkan tontonan yang berbeda-beda dengan film-film impor. Film silat Indonesia bukan film silat Hongkong. Film darama Indonesia bukan drama Amerika atau Meksiko. Film kepahlawanan Indonesia bukan film kepahlawanan Amerika.
Tradisi atau konvensi film Indonesia yang demikian itu harus ditemukan dalam sejarah perfilman di Indonesia. Manakala film-film Indonesia yang menunjukan karakteristik yang berbed dengan film-film impor yang membanjiri Indonesia, dan diterima oleh masyarakat kota-kota besar Indonesia. Untuk itu perlu penelitian sosiologis perfilman Indonesia, siapakah di balik produksi film-film Indonesia. Para pembuat film Indonesia dengan latar budayanya amat menentukan jenis-jenis film yang akan diproduksinya.
Film Indonesia adalah “film Indonesia”, bukan tiruan film-film Amerika, Hongkong, atau India. Dengan menyuguhkan film yang berbeda ini, masyarakat kota-kota besar akan memperoleh pilihan baru. Memang bukan kerja mudah, perlu proses, namun pegangan utamanya harus menemukan karakteristik “film Indonesia”.
Film erat sekali hubungannya dengan teknologi dan bisnis. Film diproduksi dengan kalkulasi dagang film. Bagaimana film Indonesia akan laku kalau produksinya tak berbeda jauh dengan film-film impor yang telah kuat kedudukannya di Indonesia. Kita tidak akan berjualan roti kalau produk roti asing jauh lebih bagus. Kita akan menjual yang bukan roti, kalau harus roti pula, maka harus roti dengan selera Indonesia sendiri, yang tidak mungkin diproduksi di luar negeri.
Film Indonesia berdasarkan basis bahasa, budaya, mitos, dan simbol-simbol masyarakat kota-kota besar Indonesia. Film mempersoalkan budaya sendiri, dengan cara sendiri, karena kita memiliki norma-norma etik sendiri pula. Film-film kepahlawanan Jepang misalnya, dibuat berdasarkan tata nilai dan etika masyarakat Jepang tentang kepahlwanan mereka. Film-film semacam itu dihargai oleh budaya-budaya lain, karena menawarkan nilai-nilai lain. Film-film demikian itu akan ikut menyumbangkan wawasan baru dalam budaya global.
Film Indonesia berkonteks budaya masyarakat Indonesia. Entah itu konteks masyarakat metropolisnya atau masyarakat budaya etniknya. Kita menghargai film Iran karena berbicara tentang masyarakat Iran modern, bukan film Iran yang meniru produk film asing. Orang Indonesia akan menonton film Indonesia kalau memuat tata nilai Indonesia, bukan film Indonesia yang bergaya Amerika atau Hongkong.
Selama ini, Keindonesiaan data film baru hadir dalam film-film jenis auteur. Film-film genre masih kuat unsure peniruannya, atau setidak-tidaknya masih berorientasi pada film-film impor yang laku keras di kota-kota besar Indonesia. Sah-sah saja membikin sinetron kelas atas masyarakat metropolit, tetapi apakah benar berdasarkan realitas kelas atas tersebut? Dan dengan gaya penuturan film atau sinetron impor yang laris di sini?
Juallah barang dagangan yang berbeda dengan barang dagangan yang kini tengah digandrungi masyarakat Indonesia
Penulis
Prof. Drs. Jakob Sumardjo