Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Rekoleksi Memori, Catatan Kecil Tentang Festival Film Bandung

 Bisa jadi, tulisan ini hanya sebuah cermin, bagi saya—untuk terus bergerak berbagi kebaikan demi menumbuhkan kebaikan lainnya. Menciptakan ruang-ruang diskusi tak bersekat, melintasi beragam ilmu dan pengetahuan—demi kemajuan perfilman di Indonesia. Siapa pun yang membaca catatan kecil ini berhak menyatakan ketidaksetujuan, boleh merasa keberatan, namun inilah rekoleksi memori—yang dikumpulkan melintasi masa, kisah yang tersampaikan dari satu periode pada periode berikutnya. Dengan harapan, catatan kecil ini—pada akhirnya tidak lagi hanya menjadi cermin untuk saya, namun juga untuk mereka yang peduli pada kemajuan perfilman Indonesia—tanpa pamrih.

Hari itu di Jalan Zamrud No. 12C Bandung, cuaca mendung. Suara desing pendingin ruangan terdengar halus, saya duduk di meja panjang berbentuk oval, meja yang senantiasa menjadi saksi pada setiap kali terjadi perdebatan mau pun diskusi menjelang acara Festival Film Bandung. Saya, si Anak Bawang. Belum lama bergabung, namun telah banyak mencerap inspirasi baik yang ditumbuhkan pada setiap diskusi yang terjadi dalam Forum Film Bandung.



Awalnya, saya berpikir, ini adalah komunitas eksklusif. Tidak sembarang orang dapat bergabung, apalagi menyarakan pendapatnya, belum lagi dengan adanya para praktisi dan akademisi dari beragam disiplin ilmu yang tergabung didalamnya. Tapi, Forum Film Bandung ternyata memiliki budaya organisasi yang bersahabat; dialogis, menerima perbedaan sebagai nuansa dan punya keinginan untuk terus memberikan yang terbaik bagi perflman Indonesia dalam wujud distribusi pengetahuan publik.

Hujan turun, ketika Pak Eddy D. Iskandar selaku Ketua Umum Forum Film Bandung mulai berbagi kisah perihal Forum Film Bandung sebagai penyelenggara Festival Film Bandung. Kira-kira, seperti inilah percakapan kami sore itu :

“Jadi sebetulnya, Forum Film Bandung itu awal mulanya bagaimana, Pak?” tanya saya, sebagai anggota termuda yang bergabung di dalam Forum ini.

Pak Eddy sesaat menerawang, kemudian suaranya terdengar jelas, menjawab pertanyaan saya.

Pada mulanya kegiatan pada tahun 1987 itu iseng-iseng saja. Kami, beberapa orang yang biasa menulis tentang film di harian Pikiran Rakyat, sering menyaksikan film-film baru di preview room PT. Kharisma Jabar Film. Dalam seminggu, ada tiga atau empat judul film yang kami saksikan bersama. Kemudian yang nimbrung nonton pun bertambah, ada dari kalangan teater, psikolog, juga seniman, budayawan lainnya….”

“Wah, asyik sekali! Pastinya banyak gagasan menarik yang diperbincangkan saat itu,” saya menimpali.

“Benar sekali. Apalagi, usai nonton kami tidak segera pulang, melainkan bertukar pikiran tentang film yang barusan ditonton. Kadangkala terjadi perbedaan penilaian, tapi tak jarang kami sependapat meski tetap dengan visi dan argumentasi masing-masing…,” lagi-lagi Pak Eddy menerawang. Sekilas matanya nampak rindu melintasi waktu kembali pada masa yang tengah diceritakannya. “Begitu banyak film yang kami saksikan, tapi tak mungkin tiap film tersebut ditulis dalam satu media saja, mengingat halamannya yang terbatas.

Padahal begitu banyak film bagus yang sesungguhnya layak dipublikasikan. Tak jarang kami amati, film bagus itu kurang sekali diminati penonton di bioskop. Sebaliknya, film dengan citarasa "pasar" yang kental, digandrungi banyak orang. Bagi kami, ini merupakan tantangan untuk berbagi apresiasi….”

Apakah tantangan itu yang kemudian melahirkan Forum Film Bandung, Pak?”

Bisa dibilang demikian. Kemudahan menyaksikan film-film baru, kebiasaan menyaksikan film di bioskop, rangsangan untuk menganalisis film, dan kebutuhan untuk bisa bertemu dan bertukar-pikiran secara tetap, menyebabkan timbulnya gagasan untuk mewujudkan suatu kesimpulan terhadap film-film yang disaksikan bersama, khususnya yang beredar di Bandung, sehingga kemudian lahirlah gagasan FFB, atau Forum Film Bandung.”

Pak Eddy berhenti sesaat, menghirup kopi yang mulai dingin, menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan ceritanya.

“FFB bukan lahir dari keinginan perseorangan, apalagi diperalat oleh kepentingan bisnis. FFB benar-benar murni muncul dari kalangan pengamat film Bandung, serta seniman budayawan Bandung lainnya, yang cukup besar perhatiannya terhadap perfilman. Keterlibatan Ir Chand Parwez Servia yang saat itu adalah pimpinan PT. Kharisma Jabar Film dan Ketua I GPBSI Jabar, lalu Drs. Edison Nainggolan sebagai Ketua Perfin Cabang Jabar dalam organisasi FFB, semata karena mereka termasuk salah satu unsur yang mendukungnya. Masih ada pendukung lain, yakni harian umum Pikiran Rakyat…

Aaah, saya paham. Jadi pada dasarnya, Forum Film Bandung memang adalah organisasi yang bersifat non-profit ya, Pak? Lalu bagaimana kemudian bisa terjadi, Forum Film Bandung sebagai penyelenggara Festival Film Bandung?”

Itu dia. Banyak diskusi terjadi, pro dan kontra terkait jawaban untuk pertanyaan itu. Banyak yang beranggapan bahwa kehadiran Festival Film Bandung untuk menyaingi FFI. Padahal FFB lahir dan berkembang spontan, lebih sebagai "gerakan budaya" dan tak berpikir nama Festival akan mendatangkan reaksi pro dan kontra yang tajam. Barangkali karena gagasan itu tercetus begitu saja, maka ketika rencana kecil tadi tiba-tiba saja menjadi besar, tatkala muncul reaksi setelah berita FFB dimuat di berbagai media-massa, dan kami semua sama-sama kaget. Agaknya nama Festival itu telah menimbulkan interpretasi yang berlainan. Padahal kata itu kami pakai tanpa pretensi berlebihan.


Di seluruh dunia kini, sudah ada dua ratusan lebih festival film dengan segala aspirasi dan cara penyelenggaraan masing-masing. Dengan kata lain, tiap festival punya interes sendiri, punya warna budaya dan politik sendiri. Dari keragamannya itulah banyak festival yang tidak menekankan segi kompetisinya, melainkan misalnya dilandasi semangat apresiasi, eksperimentasi, penemuan dan penggalian Forum film Bandung terhadap film-film dari negeri sendiri maupun negeri-negeri lain yang pantas diikuti perkembangannya….”

“Lalu bagaimana, Pak, apakah kemudian pertentangan tersebut menyurutkan semangat FFB untuk memberikan apresiasi dari sudut pandang gerakan kebudayaan yang bertujuan meningkatkan kecerdasan publik atas film-film Indonesia?”

“Ya…. Bagaimana ya?” Pak Eddy kembali menyeruput kopinya. “Pada 7 Maret 1988, kami pernah menerima surat dari Departemen Penerangan R.I. yang ditandatangani oleh Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video tentang penggunaan nama "Festival"; bahwa di Indonesia hanya dikenal satu festival yakni FFI. Saat itu, kami sepakat saja memutuskan nama lain.

Kami memilih "Forum" yang artinya musyawarah atau tempat bertukar pikiran dan mempercakapkan segala hal. Dan mungkin ini memang lebih sesuai dengan maksud dan dasar gagasan FFB, ketimbang nama "Festival" yang berkonotasi kegiatan seremonial. Namun kemudian, Deppen telah meluruskan arah FFB yang ingin menjabarkan kegiatannya secara sederhana dan proporsional; dan hingga saat ini, Forum Film Bandung menjadi penyelenggara Festival Film Bandung.”

Sesaat tak terdengar suara apapun selain hujan. Pak Eddy menghela napas, matanya kembali menerawang.

“Pada dasarnya, kami ingin menghormati semua pihak berikut keberadaannya. FFB tak mau menyulitkan pihak lain dan tak ingin pula disulitkan oleh pihak lain. Wadah khusus FFB diharapkan menjadi salah satu sarana komunikasi antara narafilm dengan masyarakat sebagai apresiator. Keberadaannya diusahakan tidak bertentangan dengan aturan dan peraturan yang ada. Kegiatannya juga diarahkan agar tidak tumpang tindih dengan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti misalnya FFI, Pekan Film, Kineklub dan sebagainya. FFB telah dan akan terus menerbitkan buletin untuk menyebarluaskan rangsang-rangsang benih empati dan apresiasi terhadap perfilman.

FFB juga ikut menyelenggarakan diskusi dan pemutaran film-film pilihan tertentu, khususnya bekerjasama dengan Kineklub Bandung dan PT. Kharisma Jabar Film. Penyebaran angket terhadap masyarakat penonton di Bandung juga akan dipertahankan sebagai bahan olahan yang faktual evaluatif. Harapan FFB tidaklah muluk-muluk. Mudah-mudahan dari Bandung bisa memberi sepercik manfaat bagi perkembangan film nasional. Karena rasanya semua orang dan pihak mana saja berhak berbuat baik seperti itu, tanpa harus disoroti macam-macam. Apalagi karena FFB baru melangkah, belum menghasilkan sesuatu, belum punya pengalaman, belum apa-apa….”

Kembali suasana menjadi hening. Kalimat Pak Eddy terakhir mengisik hati saya, dan menimbulkan rasa haru. Mungkin, demikianlah memang sebuah perjuangan berlaku. Ia bisa menjadi hanya sekedar cerita singgah, gejolak yang tak pernah selesai diperbincangkan, disandingkan, dibandingkan, dicemooh, dipandang sebelah mata, dituding dengan persepsi tak berlogika; atau sebaliknya, disanjung, dijadikan arah jalan, diposisikan sebagai ujung pemikiran dan kebijaksanaan, menjadi sebuah inspirasi, kecambah potensi kreasi bagi siapa pun yang hendak turut berbagi.

Tanpa sadar, hujan sudah reda. Pak Eddy pamit pulang lebih dulu, sementara saya dan rekan-rekan Regu Pengamat Festival Film Bandung masih meneruskan diskusi, bertukar pikir, beradu argumentasi, untuk memberikan apresiasi terbaik bagi karya-karya terpuji sineas Indonesia.

“…karena rasanya, semua orang dan pihak mana saja berhak berbuat baik…, tanpa harus disoroti macam-macam. Apalagi karena FFB baru melangkah, belum menghasilkan sesuatu, belum punya pengalaman, belum apa-apa….”****

Catatan:
Beberapa bagian dalam tulisan ini disadur, ditulis ulang dan dikonfirmasi dari Buku Putih FFB.

Penulis:

Agustina K. Dewi

Post a Comment

Terima kasih sudah mengunjungi website resmi Festival Film Bandung. Sila tinggalkan jejak di kolom komentar. Hindari spamming dan kata-kata kasar demi kenyamanan bersama.
© Forum Film Bandung. All rights reserved.