“Semula saya pikir film ini diawali dengan sebuah kenekatan yang penuh dengan emosional saat proses untuk memproduksi sebuah film, ternyata saya salah”.
Tentu saja perjuangan untuk mewujudkan sebuah film tidak semudah membalikan telapak tangan. Begitu pula dengan proses produksi film Ketika Mas Gagah Pergi. Diawali dengan ajakan semangat bersama untuk mengusung cerpen tersebut menjadi sebuah film. Maka gagasan pun dimunculkan dalam upaya mewujudkan kebersamaan ke berbagai media sosial serta media lainnya.
Seperti ketika mengusung sebuah kebulatan tekad Sumpah Pemuda untuk mempersatukan Nusa, Bangsa dan Bahasa, dan lahirlah film itu dalam kebersamaannya, yaitu “Kita yang modalin, Kita yang buat, Dunia yang nonton!”.
Hmm.. sebuah kebersamaan yang diusung dalam aroma ‘guyub’ serta sekaligus menciptakan kekuatan ‘daya’ daripada kekuatan ‘gaya’, sama halnya ketika Bung Karno dengan kekuatan ‘gotong-royong’-nya melahirkan Sumpah Pemuda. Menarik sekali.
Hmm.. sebuah kebersamaan yang diusung dalam aroma ‘guyub’ serta sekaligus menciptakan kekuatan ‘daya’ daripada kekuatan ‘gaya’, sama halnya ketika Bung Karno dengan kekuatan ‘gotong-royong’-nya melahirkan Sumpah Pemuda. Menarik sekali.
Kebersamaan yang dimunculkan oleh para penggerak film Ketika Mas Gagah Pergi ini ingin menyatakan bahwa kekuatan ‘gaya’ (baca: pemilik modal/produser) tidak selamanya yang bisa membuat film, tetapi dengan dukungan penggemar serta partisipan maka segalanya bisa lancar dan menjadi sebuah ‘daya’. Maka seluruh penggerak dan pembuat film Ketika Mas Gagah Pergi ini berkata dengan gagah dan penuh keyakinan: “Nama saya Gagah. Ini film kami!”
Hmm… semangat gotong-royong masih ada di negeri ini, bung! Dan sekaligus melahirkan para partisipan mempunyai saham/andil dalam pembuatan film ini. Apalagi film ini keuntungannya akan didedikasikan untuk dana kemanusiaan. Tentu saja sebuah renungan bagi orang yang berlimpah duit nih.
Film Ketika Mas Gagah Pergi yang skenarionya oleh Fredy Aryanto dan sutradara oleh Firmansyah, menceritakan seorang anak muda yang hijrah setelah bertemu dengan seorang kyai di wilayah Sulawesi, hal ini menjadi masalah bagi keluarga dan rekan-rekannya.
Film Ketika Mas Gagah Pergi yang skenarionya oleh Fredy Aryanto dan sutradara oleh Firmansyah, menceritakan seorang anak muda yang hijrah setelah bertemu dengan seorang kyai di wilayah Sulawesi, hal ini menjadi masalah bagi keluarga dan rekan-rekannya.
Hijrah adalah melangkah pada hal yang baru (baik) dan meninggalkan hal-hal yang menjadi kebiasaan buruk dalam sikap dan perbuatan. Begitulah cerita film ini bergulir tanpa akhir, karena kita harus menunggu ending dari film ini, yaitu bersambung ke jilid 2.
Dengan kebersahajaannya film ini mengalir dengan alur secara tidak linear namun gagah, terlepas dari kekurangannya, film ini nyaman untuk diapresiasi tanpa harus membandingkan dengan cerpen/noveletenya. Biarlah bahasa tekstual dengan ‘ruang‘ imajinya, dan lihatlah bahasa film dengan ‘ruang’ visual estetisnya. Semoga anda mendapatkan bias dari film tersebut bukan bias dari ‘gaya’nya.
Ya, semoga.
Dengan kebersahajaannya film ini mengalir dengan alur secara tidak linear namun gagah, terlepas dari kekurangannya, film ini nyaman untuk diapresiasi tanpa harus membandingkan dengan cerpen/noveletenya. Biarlah bahasa tekstual dengan ‘ruang‘ imajinya, dan lihatlah bahasa film dengan ‘ruang’ visual estetisnya. Semoga anda mendapatkan bias dari film tersebut bukan bias dari ‘gaya’nya.
Ya, semoga.
Penulis:
Agus Safari