Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Rectoverso Bioskop di Indonesia Pasca Pandemi Covid-19: Fenomena Global OTT dan Agenda Setting Penonton



Dalam dunia percetakan, recto dan verso dikenal sebagai halaman ‘muka’ dan ‘belakang’ dalam sebuah buku. Recto adalah halaman yang di sebelah kanan, sedangkan verso adalah halaman di belakangnya, dan begitu seterusnya. Dalam telaah filsafati, recto dan verso adalah dua sisi yang akan selalu berdampingan dan tidak dapat dipisahkan. Rectoverso dalam pengertian sesungguhnya adalah sebuah gambar atau dua-bentuk yang seolah-olah terpisah padahal menjadi satu kesatuan yang menyeluruh.


credit: unsplash

Berkaitan dengan realitas sosial, dikotomi moral seringkali menjadi gambaran dualitas yang menyimpan sebuah rectoverso. Dalam Beyond Good and Evil yang diterbitkan pada tahun 1986, Nietszche menyatakan bahwa moral bukanlah sesuatu yang rasional, absolut dan alami. Dunia banyak mengenal sistem moral dan masing-masing mengajukan klaim umum; sehingga semua sistem moral pada akhirnya bersifat khusus, dipergunakan untuk tujuan tertentu dari pelaku atau penciptanya. Moral mendisiplinkan manusia demi kehidupan sosial dengan cara mempersempit pandangan dan cakrawala manusia; dan secara simplistik moral merenggut kebebasan manusia.

Namun pada sisi lain, sebagai sebuah oposisi, moralitas yang dalam artian tertentu telah menjadi alami, diperlukan manusia, meskipun ia melanggar sifat dasar manusia atau insting dasar manusia—sesungguhnya penilaiannya seringkali didasarkan pada ketidakpastian, irasionalitas, dan pelanggaran-pelanggaran tak bermoral atas dorongan-dorongan alami dan biologis. 

Moralitas ketika diposisikan dalam dikotominya, satu sisi menjadi seperangkat atribut dengan lisensi aturan serba-mengikat, sementara pada sisi lain yang tak bisa dipisahkan, menyimpan daya entropi dalam kehidupan yang pada dasarnya melukai, menyesuaikan, menguasai yang asing dan lemah, penindasan dan kekerasan, pemaksaan, dan yang terakhir paling halus adalah eksploitasi.

Moral menjadi sebuah konsep yang seringkali dianggap ada-dengan-sendirinya, namun sekaligus juga ditempatkan pada irasionalitas dalam cara-pandang ‘Being-and-Time’. Moral ini pula, melalui seperangkat peraturan dan undang-undang darurat; yang telah nyaris mencerabut keberadaan bioskop di Indonesia—sebagai upaya untuk mengantisipasi penyebaran pandemi semakin meluas. 

Moral yang ‘sama’ ini juga, yang kemudian menghadirkan ruang alternatif bagi tontonan dan tuntunan visual semakin unjuk gigi: Google, Facebook. Twitter, YouTube, Netflix, Iflix, Disney Hotstar, Mola TV, dan lainnya—yang kemudian dikenal sebagai fenomena global untuk jenis layanan Over The Top atau OTT.
credit: unsplash


Demikianlah, menganalogi pendekatan Nicholas Schoffer dalam Seni Kinetik sekaligus Op-Art melalui spatiodynamics dan illuminodynamics, kemunculan beragam platform OTT yang menawarkan alih-medium sebagai fitur bagi sinema Indonesia yang saat ini berbasis pada Internet-of-Things seolah-olah bergerak dengan konstruksi kombinasi cahaya yang dipantulkan dari kebersentuhan user dengan konten pada screen dalam irama yang konstan, intens hingga memungkinkan memunculkan trance dari keteraturan gerak dan ilusi visual yang diciptakan [bayangan]nya. 

Dalam hal ini, diasumsikan bahwa OTT di Indonesia era pandemi bergerak pada kecepatan cahaya, ketika dalam sepersekian detik yang kadang sulit diidentifikasi, informasi berubah, pengetahuan bertambah, persepsi berkembang, tak ada yang bersifat konstan, perubahan yang cepat dan instan menjadi kunci keberhasilan dari proses pertumbuhan budaya visual. Tontonan dan tuntunan visual menjadi serba digital, dalam jaringan, termediasi layar pada dunia mosaik membuat kita terhipnotis, seakan-akan kehilangan kesadaran ringan, terbius—light-trance.

Gagasan bahwa meskipun seeing is believing, percepatan teknologi membuat sineas bisa saja luput untuk melihat sisi-lain-atas-sisi-lainnya, yang sesungguhnya menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Demi mengejar ‘cahaya’ dan kesilauan yang ditawarkan OTT sebagai fenomena global yang makin memesona sejak pandemi Covid-19 terjadi; kreasi menjadi sekedar hanya komoditi, bukan lagi dialog edukatif yang kreatif; tapi menjadi sebuah karya yang “asal bisa balik modal”. Tentu, itu tidak salah, namun bisa jadi tidak sepenuhnya benar juga.

Bioskop konvensional, dalam hal ini dianalogikan sebagai ruang-ruang sosial yang melalui seperangkat aturan moralitas baik-buruk, benar-salah, jelek-bagus, hitam-putih terkadang mengikat dan menyekap persona untuk bergeming dalam keteraturan yang [i]rasional sesuai ketentuan (aturan, UU) yang berlaku. Bioskop diposisikan menjadi tak lagi punya daya untuk menolak, dan hanya sanggup untuk bertahan, terus bergerak dengan berusaha meng-ada dan men-jadi; lelah, tapi berusaha tak menyerah—demikianlah, mungkin, sebuah ironi dramatis bagaimana bioskop tetap bertahan berjuang hidup sebagai ruang “alternatif” bagi tontonan dan tuntunan visual dalam sinema Indonesia pasca pandemi.

Dampak dari situasi tersebut di atas membuat OTT tidak lagi menjadi ruang-menonton alternatif; namun kini sanggup menjadi ruang utama-di-rumah-kita yang memberikan penonton hak untuk memilih menonton film apa saja, kapan saja, dengan one-pay-for-all. 

Agenda setting terjadi, kendali jadwal di tangan penonton; sinema Indonesia semakin mengejar gerak cahaya menuju hal-hal ‘baru’; saling-silang kode visual yang menjadi konstruksi pengetahuan menyilaukan, namun sekaligus [seakan-akan] mengabaikan proses renarasi realitas dalam benak persona yang kadang tak mampu mencerap peristiwa sebagaimana adanya dan membangun konstruksi realitasnya sendiri yang tak jarang bersifat ilusif, jauh melampaui keteraturan, sugestif pada kecenderungan bertujuan memuaskan kegilaan sebagai naluri instingtif manusia.
credit: unsplash

Namun pada sisi lain dari budaya tinggi yang tengah diciptakan sebagai respon bagi pertumbuhan budaya visual, tetap ada ibu-ibu rumahan yang bisa meninggalkan pekerjaan domestiknya demi “ikut nonton streaming” tayangan serial TV yang mendadak “hanya bisa ditonton melalui TV digital”; atau remaja malas pergi ke bioskop, karena “nonton di Netflix aja, kalau nggak sempet tinggal dijadwalin jam nontonnya”, sampai pada kalimat “kangen juga pergi ke bioskop, tapi kan sekarang nonton di rumah juga bisa kayak nonton di bioskop”—dan bioskop, juga film-film yang terpaksa ditunda jadwal tayangnya—terengah-engah, namun demi tetap dapat diterima ‘ada’—belajar paham ketika pandemi dan aturan meredam dan memberi sekat bagi diseminasi kreasi pada penonton dengan pilihan bertahan dengan idealisme, atau memilih beralih pada medium lain, genre lain, bentuk lain, platform tayangan lain.

Demikianlah, melalui repetisi—sebagai analogi atas repetisi hari dalam hidup—gerak-cahaya sinema Indonesia yang dimunculkan berdasar pada IoT secara induksi perlahan-lahan dimaksudkan untuk menciptakan kejutan-impresi-visual, merogoh sudut-sudut imaji [-dan imagery] terdalam pada benak penonton—membius, menawarkan dunia lain di luar dunia dirinya sendiri—kadang jauh melampaui presisi yang dibangun dalam konstruksi layar kecil berukuran itu sendiri. 

Bioskop di Indonesia pasca pandemi seakan-akan berada pada ambiguitas, sebuah rectoverso yang sulit direcah; menawarkan daya bentur—entropi implisit. Pandemi Covid 19 menumbuhkan seperangkat keteraturan yang mampu menciptakan ketidak-aturan pada tontonan dan tuntunan visual di Indonesia--yang kemudian menimbulkan dua kemungkinan: adanya sebuah [0]-mind process [zero mind process]—kesadaran yang jernih di bangun dari titik nol untuk menjadi [being] pada tatanan awal; atau malah kekacauan medium akibat tumbuh berjamurannya ruang-menonton lain sebagai dampak dari investasi besar di jaringan lokal dengan membangun base transceiver station lainnya, jaringan serat optik, satelit, hingga perlebaran pipa jaringan ke mancanegara demi bandwith internasional.

Namun, jauh pada pemikiran-pemikiran yang tumbuh seiring dengan dialog panjang antara fenomena global OTT, agenda setting para penonton dan nasib bioskop di Indonesia pasca pandemi; jangan-jangan kita lupa, bahwa sesungguhnya, teknologi dan kecanggihan yang ditawarkannya, menjadi tak lebih berarti dari perangkat utama yaitu penggunanya: manusia dan kenangan-kenangan nyata yang terbentuk di dalam dirinya. Jika segala sesuatu kita serahkan kepada jejaring dunia mosaik—IoT—dan segala kenyataan virtual yang dibangunnya; maka, apakah kita masih akan tetap menjadi manusia yang memanusiakan dirinya?***

 

Bacaan Lanjutan :

[1] Art of 20th Century vol.II, 1998, Ed. Ingo F. Walter Taschen; [2] Beyond Good and Evil, 2009, EBook, Friedrich Nietzsche, Translator Hellen Zimmern; [3] CD Encarta Encyclopedi, 2005.

Penulis: 

Oleh : Agustina Kusuma Dewi

 

Post a Comment

Terima kasih sudah mengunjungi website resmi Festival Film Bandung. Sila tinggalkan jejak di kolom komentar. Hindari spamming dan kata-kata kasar demi kenyamanan bersama.
© Forum Film Bandung. All rights reserved.