Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Melancong Ke Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi

Film Indonesia bertema nasionalisme
FENOMENA yang cukup menarik dan menjanjikan di awal dekade tahun 2000 adalah sebuah ‘gerakan’ yang secara serentak menjadi tren, yaitu gerakan Cinta Tanah Air. Lebih menarik lagi gerakan ini lahir tidak datang dari propaganda atau himbauan pemerintah, malah muncul dan berkembang secara sporadis dalam masyarakat serta kalangan muda.

Kecintaan terhadap tanah air dimunculkan melalui atribut-atribut ataupun slogan-slogan, seperti misalnya; T-shirt dengan lambang negara, batik berjamaah, atau Aku cinta Indonesia, dan lain-lainnya. Menyenangkan serta menjanjikan sekali apabila fenomena yang lahir, tumbuh dan kembang dari masyarakat. Kita seakan-akan diingatkan untuk menghargai sejarah dan budaya tanah air yang hampir tergeser oleh keberadaan budaya impor, maka dengan serta merta seluruh kawula muda pelosok negeri ini menggemakan ‘rasa’ cinta tanah air dalam bentuk kreatifitasnya, maka bergetarlah Negeri gemah ripah loh jinawi ini dalam ingar-bingar Nasionalisme.

Dalam ranah seni budaya sebetulnya sudah lama para seniman dan budayawan yang konsisten berkarya dan berbicara mengenai cinta tanah air dalam profesinya, baik dari kalangan yang tua maupun muda. Sebut saja beberapa tokoh dan seniman diantaranya penyair Taufik Ismail, penyair dan cerpenis muda Chairil Gibran Ramadhan, dari seni musik ada Leo Kristi, Iwan Fals, dan dari seni tari ada Bagong Kussudiardjo, Boy G. Sakti, dari senirupa; Basuki Abdullah, Herry Dim, serta banyak lagi para seniman yang berkarya dalam bidangnya membicarakan tentang cinta tanah air dalam tafsiran karya seninya.

Karya seni yang lebih kentara dan lebih dikenal serta bisa dinikmati oleh khalayak secara luas adalah Sinema; karya film. Sejak lepas tahun 2005 film-film bertemakan Nasionalisme ini lebih banyak bermunculan, , diawali oleh Film Gie (2005), Denias, Senandung di Awan (2006), King (2009), Tanah Air Beta (2010), Garuda Di Dadaku (2009), Trilogi Merdeka (2009 – 2011), Serdadu Kumbang (2011), Batas (2011). Tanah Surga... Katanya (2012), Atambua 39⁰ Celcius, 5 Cm (2012), Habibie & Ainun (2013), 9 Summers, 10 Autumns (2013), Mursala (2013), Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Soekarno (2014), Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), 3 Srikandi (2016), Kartini (2017), dan lainnya. Tema cinta tanah air ini dalam berbagai sudut pandang dan sisi kreatif para kreator film, meski berbeda namun esensinya adalah merujuk pada cinta terhadap tanah air.

Dari sisi inilah kita sedang meneropong dan diajar tentang sebuah negeri gemah ripah loh jinawi yang sedang carut marut baik sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Pembelajaran yang sangat berharga adalah saat kita sedang diajarkan oleh sebuah tawaran dari karya-karya seni yang tumbuh dan lahir sebagai karya tontonan menjadi tuntunan, khususnya seni film. Upaya telah dilakukan dan dikerjakan secara nyata dalam gagasan yang dibalut dengan kemampuan teknik yang lebih baik oleh para sineas sebagai pertanggung-jawaban anak bangsa yang peduli terhadap fenomena yang muncul dari ‘bawah’ akibat dari carur-marut tersebut di atas. Mereka bekerja dan berkarya tak peduli film itu mau laku atau tidak, banyak penonton ataupun tidak; itulah sebuah pertanggung-jawaban karya seni.

Terlepas dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa Nasionalisme yang tumbuh saat ini lebih pada sebuah kegiatan sentimental ataupun emosi sesaat (semu?), namun para kreator film atau sineas muda ini telah berbicara, bekerja dan berkarya tentang ‘sesuatu’ lewat filmnya mengenai negeri yang sudah hilang ‘ruh gemah ripah loh jinawi’-nya sebagai negara kesatuan. Hal ini tentu saja lebih baik dari pada fenomena nasionalisme ini berjalan surut menuju pada ‘Apatisme’.

Kini pertanyaan dilempar kepada pemerintah serta jajarannya: Respon positif serta bantuan apa yang akan dilakukan sebagai pemangku kebijakan dalam meladeni fenomena Nasionalisme yang tumbuh dari ‘bawah’ini, terutama karya-karya film dari anak bangsa? Jangan sampai kita kebakaran jenggot ketika ada ‘sesuatu’ karya anak bangsa di klaim oleh pihak lain. ***

Penulis: 
Agus Safari

Post a Comment

Terima kasih sudah mengunjungi website resmi Festival Film Bandung. Sila tinggalkan jejak di kolom komentar. Hindari spamming dan kata-kata kasar demi kenyamanan bersama.
© Forum Film Bandung. All rights reserved.