Oleh SUDAMA DIPA
(Dimuat di Harian Pagi TRIBUN JABAR, 29 Juli 2015)
IBADAH puasa seperti yang dilaksanakan pada Ramadhan lalu bisa menjadi
ajang pelatihan sensor diri agar lebih peka lagi dalam memilah hal-hal negatif.
Terkait dengan arus teknologi
informasi yang hampir tidak terbendung, sensor diri merupakan pertahanan
terakhir yang menjadi andalan. Sensor diri untuk aneka warna tayangan dari ratusan
stasiun televisi yang leluasa memasuki ruang tamu hingga kamar tidur. Sensor
diri untuk film-film yang beredar di bioskop, toko-toko DVD, dan internet. Sebab
fakta di lapangan menunjukkan bahwa film yang melewati Lembaga Sensor Film (LSF)
maupun yang tidak singgah di LSF, bisa didapatkan dengan mudah dan murah
meriah.
Bahkan ketika ada film yang dinyatakan tidak lulus
sensor, justru film tersebut beredar bebas di tengah masyarakat dalam berbagai
versi. Misalnya dalam bentuk DVD yang dijual bebas. Dan seandainya aparat penegak
hukum sanggup menertibkan film-film tidak
lulus sensor di toko DVD, masih bisa dicari pula di situs berbagi video semisal
youtube. Maka peran LSF dalam melindungi masyarakat dari
pengaruh negatif film, mustahil berhasil tanpa diikuti oleh usaha penguatan
sensor diri pada setiap individu.
LSF kerap disalahkan ketika meloloskan film yang
dianggap tidak mendidik. Padahal, jika mencermati kondisi saat ini, baik
diloloskan atau tidak diloloskan oleh LSF, film tersebut bisa diakses dengan
mudah dan murah. Mungkin hal itulah yang memicu munculnya wacana pembubaran LSF.
Tentu bukan suatu solusi. Sederhana saja, dengan
adanya LSF, kondisi perfilman sudah memprihatinkan, apalagi kalau tidak ada
LSF. Sebagai contoh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kerap menyalahkan LSF ketika
meloloskan film tidak mendidik. Tapi MUI menolak tegas wacana pembubaran LSF.
Artinya, keberadaan LSF tetap dibutuhkan. Bahkan
kalau menelisik amanat UU Perfilman tahun 2009, posisi LSF bukan menjadi semacam
”polisi moral”, tetapi diharapkan hadir sebagai lembaga yang turut membangun
peradaban bangsa. Bukan hanya terpaku pada adegan erotis dan berdarah-darah.
LSF pun perlu lebih tajam dalam membaca substansi sebuah film. Perlu lebih teliti
dalam mempertimbangkan pengaruh film terhadap keberadaan local genius dan local colour bangsa Indonesia.
Tentu saja LSF tidak serta-merta langsung menolak
karya para insan perfilman, khususnya di dalam negeri, jika dianggap tidak
layak untuk dipertontonkan. Sebab, di sisi lain LSF juga dituntut untuk turut
serta memajukan perfilman nasional. Ada opsi dialog yang bisa ditempuh antara LSF dengan produsen film
nasional, sesuai dengan amanat UU Perfilman 2009. Hal ini lebih menegaskan lagi, bahwa LSF bukan
menjadi lembaga tukang jagal kreativitas insan perfilman, melainkan mitra bagi
para produsen film. Itulah sebabnya di dalam kelembagaannya, LSF perlu melibatkan
anggota yang memahami skenario, mengerti alur, tahu plot, dan mengenal dunia film.
Berdiri di antara
masyarakat dan produsen film, LSF harus turut serta dalam membangun masyarakat
Indonesia yang apresiatif, cerdas, dan menumbuhkan kebanggaan akan nilai-nilai
budaya demi mempertahankan persatuan Indonesia. Untuk mencapai hal itu, langkah-langkah yang bisa ditempuh
oleh LSF diantaranya menjalin hubungan
harmonis dengan masyarakat, insan perfilman, penggiat perfilman, dan pengusaha perfilman
dalam menjalankan penyensoran, dengan bersikap
terbuka, transparan, dan selalu membuka ruang untuk berdialog ketika memecahkan
suatu permasalahan.
Kaitannya sebagai mitra bagi para produsen film
nasional, LSF juga harus lebih mempermudah birokrasi dalam penyensoran film,
dan meningkatkan kualitas penelitian dan penilaian. Kalau bisa dipermudah,
kenapa harus dipersulit? Dengan
semangat itu, maka birokrasi dalam penyensoran bisa lebih disederhanakan. Namun
tidak berarti sederhana dalam penelitian dan penilaiannya. Dengan
diberlakukannya sistem bekerja penuh waktu, tidak ada alasan bagi LSF untuk
tidak teliti dalam menilai film. LSF yang dituding sebagai ”sarang pungli”,
harus intropeksi diri. Kalau memang terbukti banyak pungli sebagaimana
disampaikan oleh salahseorang sineas film senior, maka pungli itu harus dimusnahkan
di dalam proses penyensoran.
Sementara itu, untuk mengedukasi masyarakat, LSF
perlu merekomendasikan film-film bermutu, berdasarkan hasil penelitian dan
penilaian terhadap film. Dalam memilih film bermutu, LSF bisa melakukannya
dengan selektif. Ketika masyarakat sudah dekat dengan LSF, lalu LSF
merekomendasikan film bermutu, maka dipastikan masyarakat akan menyambutnya
dengan baik.
LSF juga perlu membuat database yang lengkap dan
terpadu, berkenaan dengan informasi film-film yang sudah dinyatakan lolos
sensor. Website LSF perlu diperbaiki agar lebih friendly, dengan dilengkapi link
ke media sosial seperti facebook,
twitter, instagram, dan lain-lain. Hal ini
sangat penting untuk menunjukkan sikap
LSF terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan mendukung
keterbukaan informasi.
Dan tentu saja LSF harus pro aktif bekerjasama
dengan lembaga lain atau perorangan untuk berbagai kegiatan dalam meningkatkan
apresiasi masyarakat terhadap film. Di dunia maya, misalnya, ada banyak blogger yang seccara sukarela turut melakukan
penyensoran film, dengan cara merekomendasikan film-film bermutu. Mereka perlu
dirangkul dan didengar suaranya untuk lebih mengukuhkan peran LSF di tengah
masyarakat. Dengan adanya
sinergitas yang harmonis antara berbagai pihak, bisa dipastikan dapat menemukan
berbagai solusi dalam memajukan film nasional dan meningkatkan apresiasi
masyarakat Indonesia.***
SUDAMA DIPA (DHIPA GALUH PURBA), anggota regu
pengamat Festival Film Bandung, salahsatu
kandidat anggota Lembaga Sensor Film (LSF).