Eddy D. Iskandar
WAJAH-WAJAH DI LAYAR
PUTIH
1.
Aku melihat wajah-wajah di layar putih itu
Mudah menangis. Gampang tertawa. Meringis. Menyeringai
Membentak. Menghardik. Termehek-mehek. Terbahak-bahak
Menjerit. Meringkik. Mengaduh. Mendesah.
Wajah-wajah itu datang silihberganti. Dari masa ke masa.
Menatap penonton. Menyapa dengan rasa percaya diri yang
tinggi
“Bagaimana dengan aktingku?”
Ia berharap jawaban yang menyenangkan. Tapi tak ada sahutan
Semua hanya menanti saat-saat yang tegang
Ketika tubuh berbalut kain putih dengan mata bolong
Berubah menjadi wanita cantik setengah telanjang
Bergoyang-goyang di atas ranjang
Ketika penonton melongo terbawa suasana
Wanita itu merajuk dengan desah menggoda
“Maaf, ini tuntutan skenario adanya”
2
Layar berganti. Lalu nampak wajah-wajah yang berbeda
Wajah-wajah yang sangat kukenal. Kehidupan yang kulihat
dan kurasakan. Persoalan-persoalan kecil dan besar
Semua terekam dalam ruang yang membentang
Kusaksikan warna-warni kehidupan
di mana aku bisa merasakan
kekayaan latar kejadian
Melalui layar putih itu
Seorang demi seorang bercerita tentang hidup, karir,
perjuangan, rumah tangga, bahkan cinta.
Mereka bicara dengan bahasa jiwa
“Wajahku ada di sini, meski sering tak menarik perhatian”
Aku selalu ingat nama Bupati Bandung
RAA Wiranatakusumah V
yang mendukung terwujudnya film “Loetoeng Kasaroeng”
tahun 1926 pembuatannya
Ia layak disebut perintis film cerita pertama di Indonesia
Aku selalu ingat nama Usmar Ismail Sang Pelopor
Orang pribumi yang bangga dengan wajah Indonesia
Mengibarkan bendera Perfini
30 Maret 1950 membuat film pertama
“Darah dan Do’a” judulnya
Jadi tonggak peringatan
Hari Film Nasional
Aku selalu ingat nama-nama penerusnya
yang teguh berjuang di tengah derasnya
kekuasaan industri film
Aku selalu ingat ucapan itu
“Film bukan semata-mata barang dagangan”
3
Layar putih kian membentang
Semarak dunia remaja putih abu-abu
Melalui kisah anak gedongan
Wanita yang tersiksa dan teraniaya
atau air mata kematian karena penyakit mematikan
atau tertawa dengan
lucu-lucuan
Dan kini disaat merdeka berkreasi
Malah bebas dengan judul-judul asing
yang sudah ada sejak zaman film bisu
Makin banyak yang merasa bangga
berbahasa mancanegara
Begitu fasih menyebut sekian judul film
Disangka film barat tapi asli dalam negri
Dulu menggunakan judul bahasa Belanda dan Cina
Kini laris dengan judul bahasa Inggris
Ketika kutanya judul film berbahasa Indonesia
Malah banyak yang menjawab terbata-bata
Ketika kusebut sebuah judul film lama
“Pacar Ketinggalan Kereta”
Malah dengan lantang bilang
“Itu judul film jadul, sudah ketinggalan zaman”
4
Sebelum layar ditutup
Seseorang masih sempat bertanya
dengan suara gagap
“Wajahku mau ditaruh di mana?”
Suara itu sepertinya suara
seorang sutradara ternama
yang sekian banyak filmnya
selalu dipuji para pengamat terkemuka
yang sering mendapatkan piala
di festival mancanegara
Tapi aku lupa lagi namanya
atau mungkin bukan suara dia
tapi suara pencinta film seni
yang sering tak dihargai di negri sendiri