(Forum Film Bandung) Bermula
dari buku, kemudian diangkat ke film layar
lebar. Itulah kumpulan cerita komedi “Manusia Setengah Salmon”, karya
Raditya Dika, yang diterbitkan di penghujung tahun 2011 oleh Gagas Media. Menyusul
kesuksesan buku yang ditulis sebelumnya oleh Raditya, “Manusia Setengah Salmon”
pun mendapat sambutan hangat dari para pembaca. Selanjutnya buku “Manusia
Setengah Salmon” juga kembali bernasib mujur, dengan diangkatnya menjadi film
layar lebar oleh rumah produksi Star Vision. Para penggemar Raditya Dika dari
toko buku berbondong-bondong ke gedung bioskop.
Berdasarkan awal keberangkatan “Manusia
Setengah Salmon”, maka Forum Film Bandung (FFB) bekerjasama dengan Panitia
Pesta Buku Bandung 2014, menggelar acara nonton bareng, diskusi, dan jumpa fans
film “Manusia Setengah Salmon” di tengah para penggemar buku. Tepatnya di
Landmark Convention Hall, Jl. Braga No. 129, Bandung (3/3/2014). Acara tersebut
merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam menyongsong Festival Film
Bandung 2014.
Para pengunjung acara Pesta
Buku Bandung 2014, rela berdesak-desakan memadati area panggung utama, demi menyaksikan
acara nonton bareng “Manusia Setengah Salmon”. Acara diskusi didominasi oleh para pembaca buku, sebelum pada
akhirnya mereka pun menjadi penggemar filmnya.
“Sebenarnya saya sudah nonton,
tapi pingin nonton lagi, biar ingatan saya segar lagi. Soalnya mau diskusi
dengan pembuat dan para pelaku dalam filmnya...” demikian dikatakan oleh salahseorang
mahasiswa, yang sengaja datang ke
Landmark untuk mengikuti acara diskusi dan jumpa fans film “Manusia Setengah
Salmon”.
Tampil sebagai pembicara dalam
diskusi tersebut Chand Parwez Servia, Eriska Rein (pemeran Jessica), MoSidik
Christian (pemeran Editor Buku), Mithu Nizar (Produser Eksekutif), dan Eddy D.
Iskandar (Ketua Umum Forum Film Bandung). Diskusi yang dipandu oleh Ratna
Juwita berlangsung hangat, komunikatif, dan penuh kekeluargaan. Para peserta
diskusi mendapat kesempatan untuk berdialog langsung seputar produksi film
“Manusia Setengah Salmon”. Kesempatan tersebut dimanfaatkan secara maksimal
oleh para peserta diskusi.
Chand Parwez memaparkan bahwa
sebagai produser, ia tidak tinggal diam dalam menentukan bahan cerita yang akan
diangkat ke layar lebar. Parwez membaca buku-buku best seller. Bahkan dalam
mendapatkan ide memproduksi “Manusia Setengah Salmon”, Parwez sengaja datang ke toko buku di Palasari,
Bandung, untuk melakukan semacam survey mengenai buku yang banyak disukai oleh
para pembaca. Sampai pada akhirnya Parwez jatuh hati pada buku-buku yang
ditulis oleh Raditya Dika, yang pada saat itu bukunya sangat laris.
Kendati demikian, Parwez
mengatakan bahwa untuk mengangkat buku ke layar lebar, tentunya tidak asal buku
tersebut laku di pasaran. Buku yang diangkat ke layar lebar harus buku bermutu,
dan memiliki pesan-pesan moral yang diharapkan dapat diambil manfaatnya oleh
masyarakat. Seperti dalam “Manusia Setengah Salmon”, bukan sekadar menampilkan cerita
kelucuannya, tetapi yanglebih penting adalah nilai keberanian hijrah sang tokoh
untuk menjalani kehidupan yang lebih dan bermakna. Berani meninggalkan zona
nyaman, untuk mencari kehidupan yang lebih baik. “Acara ini merupakan sambung
rasa antara pengamat, penggemar film, dan insan perfilman, dengan harapan film-film yang diproduksi ke depannya bisa
lebih memiliki nilai-nilai positif.”
Demikian kata Parwez.
Eddy D. Iskandar menuturkan bahwa
film-film yang diangkat dari novel biasanya akan mendapat perhatian khusus dari
masyarakat pembaca. Bukan tanpa resiko, karena ketika filmnya tidak sesuai
dengan harapan pembaca, maka akan mendapat kritikan dari pembaca fanatik.
Sebaliknya, jika filmnya berhasil, para pembaca pun akan puas dan bisa
dipastikan akan menonton filmnya.
Sejauh ini, para pembaca “Manusia
Setengah Salmon” merasa puas dengan hasil garapan produksi Star Vision. Sebab,
cerita yang dihadirkan tidak melenceng dari buku aslinya. Dalam “Manusia
Setengah Salmon” menceritakan Dika dan keluarganya yang harus pindah rumah. Pada
saat yang bersamaan, Dika juga harus berpindah hati, meninggalkan pacar lamanya. Dua cerita yang saling
merefleksikan satu sama lain, dilengkapi kisah supir Dika yang bau ketek, adik Dika yang akan menghadapi Ujian Akhir
Nasional, dan lain-lain. Film yang disutradarai oleh Herdanius Larobu, berhasil
memukau para pecinta film nasional. “Kekurangan
dan kelebihan selalu nampak dalam film yang diangkat dari buku, jika
dibandingkan dengan tulisan aslinya.” Demikian kata Eddy, yang novel karyanya
pernah juga diangkat ke layar lebar, dengan judul “Gita Cinta dari SMA”.
Kehadiran Eriska Rein pun mendapat
sambutan hangat dari para penggemarnya. Eriska mengatakan bahwa film “Manusia
Setengah Salmon” merupakan actingnya yang keempat kali. Eriska, yang memerankan
tokoh Jessica, menceritakan betapa serunya selama mengikuti proses pembuatan film tersebut. Eriska menikmati proses
produksi sejak awal hingga selesai. ”Ini kesempatan yang sangat beenilai bagi
saya. Terimakasih banyak atas kepercayaan produser dan sutradara.” demikian kata
Eriska.
MoSidik tampil dengan gaya
komedinya yang membuat para peserta diskusi terhibur. Mo mengaku bahwa
cita-citanya untuk menjadi artis sudah dikubur sejak sepuluh tahun yang lalu.
Namun, ketika Mo terjun menjadi komik dalam
standup commedy, tiba-tiba
peluang untuk menjadi artis film terbuka. ”Ini film pertama saya, dan sampai
hari ini saya belum mendapat tawaran untuk main film lagi...” demikian kata Mo,
disambut gelak tawa para peserta diskusi.
Meski dikenal sebagai komedian,
Mo mengaku sangat terkesan dengan film “Manusia Setengah Salmon”. Masalahnya,
dalam film tersebut Mo menemukan sebuah pengalaman untuk pertama kalinya orang
gendut tidak diperlakukan sebagai orang gendut yang disuruh jatuh terguling dan
menjadi bahan tertawaan dan cemoohan. Mo merasa sangat terhormat menjadi orang
gendut. Perannya sebagai seorang editor buku, membuka kesempatan yang lebih
luas untuk mengembangkan potensi dan ide kreatifnya. Mo mengaku bisa melakukan
diskusi dengan sutradara pada saat berlangsung pengambilan gambar, sehingga
kreatifitasnya bisa tersalurkan. Mo, sebelumnya pernah menjadi penyiar di
beberapa radio di kota Bandung.
Menurut Eddy D. Iskandar, acara
diskusi seperti ini sudah sejak lama digelar oleh Forum Film Bandung secara
rutin, dan akan terus digelar di waktu yang akan datang, untuk lebih
meningkatkan afresiasi masyarakat terjadap karya sinematografi. ***(Maruta
Bayu)