Oleh Agus Safari
FORUM FILM BANDUNG
FORUM FILM BANDUNG
TAK BANYAK para sineas kita membuat
sebuah film tentang korupsi berjamaah dalam bentuk komedi Satir, apalagi film
tersebut menyoroti tentang Partai, kekuasaan dan sex. Film “Negeri Tanpa Telinga” adalah sebuah
perenungan panjang Lola Amaria dalam menuangkan gagasannya selama 4 tahun
karena berbagai hal kendala, namun menginjak tahun ke 5 film “Negeri Tanpa Telinga” ini muncul dan
berjalan santai dalam situasi negeri yang malu-malu (memalukan?) dalam
kebijakan, kekuasaan dan sex. Sebuah film komedi satir yang ringan namun
sekaligus menggelitik pikiran kita dan sekaligus tamparan bagi para penguasa
Negeri tercinta ini. Seharusnya sih begitu.
Film “Negeri Tanpa Telinga” menceritakan tentang konspirasi Partai besar
yang bekerjasama dengan importir daging
domba untuk memanipulasi uang Negara bagi kepentingan serta keuntungan Partainya.
Pemberantasan korupsi dan penangkapan koruptor dari keterlibatan pejabat Partai
yang selalu memakai idiom-idiom religi dalam pelaksanaan partainya yang berkiprah
dalam korupsi dan sex. Cerita berkembang pada pencalonan Presiden dan lebih
menarik dengan melibatkan Tukang Pijat sebagai jembatan untuk merangkai cerita
lebih menarik. Tukang Pijat adalah merupakan perwakilan dari rakyat yang setia
mendengarkan pendapat, kebijakan serta celoteh para pejabat pemerintah,
sementara para pejabat sendiri (Partai dan wakil Rakyat) tak mengindahkan suara
rakyat. Mereka selalu ingin didengarkan saja tetapi tidak mau mendengarkan.
Sebagai sebuah symbol atau idiom,
telinga merupakan entry point untuk masuk ke arah hati nurani, namun Penguasa
dan Pengurus Partai besar tidak mempedulikan pendengaran mereka untuk meraih
rakyat dengan baik. Saya pikir inilah yang menjadi kegelisahan Lola Amaria
sebagai Sutradara dalam menangkap fenomena sosial di Negara Kesatuan Republik
Indonesia saat ini.
Kekuasan
main Petak umpet dengan Hukum.
Mencermati karya Lola Amaria dengan
kegelisahannya terhadap gejolak sosial, kedigdayaan Partai, dan ketakberdayaan
Hukum adalah sebuah keberanian yang patut diajungi jempol pada saat rakyat
mulai sedikit apatis terhadap perilaku Penguasa dan Partai dalam konstelasi hukum
(keadilan?). Untung saja kita masih bisa menghela nafas ketika Pemberantasan
korupsi masih punya nyali dan taringnya. Kegelisahan selama 4 tahun dengan
ide/gagasan membuat film “Negeri Tanpa
Telinga” adalah sebuah perjalanan panjang dan penuh dinamika dalam sebuah
proses kreatif dan melahirkannya pada tahun kelima. Sebuah proses dan
perenungan yang panjang serta nekat, sehingga nampak secara kasat mata bahwa
kekuasaan sedang main petak umpet dengan hukum.
Kenapa nekat? Karena film ini melawan
arus dari kebanyakan film saat ini. Namun inilah sebuah pilihan Lola Amaria
dalam melahirkan karyanya meskipun sebuah resiko menantinya. Tetapi sebagai
sebuah propaganda untuk pemberantasan korupsi, film ini merupakan pilihan yang
tepat. Semoga saja.
Bagi masyarakat yang sudah ‘apatis’
terhadap keberadaan dan fenomena sosial di Negeri yang limbung oleh kekuasaan
dan sex, serta bagi para pejuang keadilan, penegak Hukum, mari jeda sejenak
untuk meluangkan waktu menonton film “Negeri
Tanpa Telinga” karya Lola Amaria ini sebagai sebuah istirah dan relaksasi
dalam nurani kita. Selamat menonton dan melihat cermin negeri ini.
Salam dan jabat erat, kawan….