Arsip Majalah FFB
Dimuat Pada Majalah FFB - April 2010 (23 Th FFB)
Catatan Oleh Rosyid E. Abby
(pengurus/pengamat di Forum Film Bandung (FFB))
Di tahun 2010 ini, penyelenggaraan Festival Film Bandung terasa lebih “hidup” dengan diselenggarakannya acara pemutaran “film tempo doeloe”, yakni “Pareh” (1934) dan “Macan Kemayoran” (1964) di Bioskop Regent, Jl. Sumatera 2, Bandung, yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Pemutaran kedua film “jadul” pada tanggal 30 Maret tersebut, selain untuk menyongsong perhelatan Pengumuman Film dan Narafilm Terpuji Festival Film Bandung 2010, juga untuk memperingati Hari Film Nasional ke-60.
Ya, kita semua tahu, bahwa Hari Film Nasional jatuh setiap tanggal 30 Maret. Tanggal tersebut –60 tahun yang lalu (1950)-- adalah hari pertama pengambilan gambar film “Darah dan Do’a” (“Long March of Siliwangi”). Selain dianggap sebagai film lokal pertama yang bercirikan Indonesia, “Darah dan Do’a” juga film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli (Usmar Ismail), serta dilahirkan dari perusahaan film milik orang Indonesia asli (Perusahaan Film Nasional Indonesia/Perfini). Maka tidaklah mengherankan kalau tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional, merujuk pada peristiwa pembuatan film “Darah & Do’a”, dan tidak pada lahirnya film (cerita) pertama di Indonesia, “Loetoeng Kasaroeng” (1926). Sebagaimana kita ketahui, film “Lotoeng Kasaroeng”, meskipun dianggap sebagai film pertama di Indonesia, dan juga terasa sangat lokal dari segi ceritanya (mengangkat cerita rakyat Jawa Barat) tokoh pembuatannya tidak melibatkan orang Indonesia asli. Disutradarai oleh Heuveldorf, film ini diproduksi di Bandung oleh Java Film Company yang dipimpin oleh G. Krugers dari Bandung dan L. Heuveldorf dari Batavia. Heuveldorf adalah seorang Belanda totok yang telah berpengalaman di bidang penyutradaraan di Amerika, sementara Krugers adalah seorang Indo-Belanda asal Bandung, adik menantu dari Busse (seorang raja bioskop di Bandung).
Potensi Lokal di Film Indonesia
Diputarnya film “Pareh” dan “Macan Kemayoran” dalam rangka memperingati Hari Film Nasional ini, dianggap hal yang paling tepat oleh Ketua FFB Dr. Edison Nainggolan. Dalam sambutannya yang dipandu oleh Master of Ceremony (MC) Dra. Hj. Ratna Djuwita, Edison menandaskan, di dunia perfilman, Bandung merupakan kota pertama di mana film Nasional diproduksi, yaitu dengan diproduksinya film “Loetoeng Kasaroeng” pada tahun 1926. "Bandung sebagai pelopor produksi film nasional, sudah sepatutnya dalam memperingati Hari Film Nasional ini di Bandung diselenggarakan pemutaran film tempo dulu,” ujar Edison dalam sambutannya.
Ir. Chand Parwez sebagai Pembina FFB berharap, dengan diputarnya dua film tempo dulu dalam peringatan Hari Film Nasional ini, para sineas kini tidak melupakan para pendahulunya di bidang film.
Dalam kesempatan itu, hadir di antaranya aktor legendaris asal Bandung Rachmat Hidayat, produser PT Kharisma Starvision Plus Ir. Chand Parwez Servia, Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Jabar Eka Gandara Wk., Dekan Fak. Film & Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ) Gotot Prakosa, Asisten III Bidang Kesra Ferry Suparman (mewakili Gurbernur Jabar), para sastrawan, seniman, budayawan, wartawan berbagai media (elektronik dan cetak), kalangan mahasiswa dan pelajar SMA, serta tentu saja para pengurus dan pengamat dari Forum Film Bandung.
Sebagian besar dari mereka merasa penasaran dengan “keterkenalan” film “Pareh” yang diproduksi tahun 1934 oleh perusahaan film Java Pasific bekerjasama dengan Wong Bersaudara tersebut. Kini, film aslinya tersimpan dengan baik di Sinematek Belanda. Film yang disutradarai oleh dua orang Belanda, Mannus Franken dan Robert Ballink, ini menuturkan drama percintaan antara laki-laki nelayan dengan gadis dari keluarga petani yang saat itu ditentang secara adat. Mungkin karena Franken sangat ahli dalam pembuatan film dokumenter, film yang dibintangi aktor Rd. Mochtar ini sangat sarat menampilkan setting keindahan alam Priangan, beserta kepercayaan masyarakat pada waktu itu.
Film satunya lagi, “Macan Kemayoran”, diproduksi tahun 1964 oleh Aries dan Garuda Film, dengan sutradara Wim Umboh dan penulis skenario H. Misbach Yusa Biran. Ada banyak aktor ternama dan berkarakter bermain di film ini, sebut saja di antaranya WD Mochtar, Ratno Timur, Rita Zahara, Rahayu Effendy, A. Hamid Arief, Menzano, Iskandar Zulkarnaen (Dicky Zulkarnaen), Rachmat Kartolo, Usbanda, dan I.M. Damsyik.
Selain pemutaran film, acara pada hari itu diisi pula dengan diluncurkannya buku "Sejarah Film Indonesia" karya Gayus Siagian, serta diskusi mengenai potensi lokal di film Indonesia, dengan narasumber/pembicara Dekan FFTV Gotot Prakosa dan Ir Chand Parwez Servia, dipandu oleh H. Eddy D. Iskandar selaku moderator. Bicara tentang potensi lokal di film Indonesia, memang kedua film “tempo doeloe” itu sangat kental potensi kelokalannya: “Pareh” dengan potensi lokal Parahyangan (Sunda), dan “Macan Kemayoran” dengan potensi lokal Betawi-nya.
Dalam paparannya mengenai potensi lokal tersebut, Gotot mengatakan, bahwa daerah-daerah di Indonesia memiliki potensi untuk memunculkan estetika sinematografi, tidak kalah dengan luar negeri. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi sinematografi yang indah. Estetika itu menjadi penting untuk estetika sebuah film. Bahkan, menurutnya pula, film dengan memunculkan daerah lokal bisa berumur panjang. “Seperti halnya film ’Pareh’, sampai sekarang film ini bisa menghidupi dan terus memberi royalti," tutur Gotot Prakosa.
Umumnya, menurut Gotot, mengangkat budaya lokal baru dilakukan komunitas yang biasa membuat film-film pendek. “Film pendek memang sebagai laboratorium untuk belajar film, dan Bandung termasuk kota yang memiliki banyak komunitas yang bergelut di film-film pendek. Eksperimen atau coba-coba dengan menggunakan basis budaya lokal dan dialek lokal ternyata bisa diterima," ujarnya pula seraya mengharapkan ke depan ada perusahaan/produser film besar yang peduli pada potensi lokal.
Sementara itu, Ir. Chand Parwez Servia menandaskan, bahwa media film butuh identitas (kelokalan) tapi harus bisa diterima secara universal. Dia mencontohkan film-film lokal India yang juga sukses dan dibuat ulang menjadi film nasional. “Dengan mengangkat potensi lokal akan ada keleluasaan bahasa, emosi dan akan memberikan pendekatan yang sangat dekat kepada masyarakat, dan akhirnya bisa diterima secara universal,” ujar produser Kharisma Starvision Plus ini, seraya berharap pula agar film-film bercitarasa lokal mulai disebut sebagai film nasional dan dihargai sebagai film nasional.
Semakin jauh memperbincangkan potensi lokal dalam film Indonesia, akhirnya dapat disimpulkan, bahwa perlu adanya komitmen kerjasama antara pemerintah (dalam hal ini Pemda setempat) dengan pihak produser, sebagaimana yang diharapkan oleh budayawan dan wartawan senior Yayat Hendayana. Karena, katanya, film tidak hanya sebagai media hiburan semata, tapi juga telah menjadi media komunikasi yang sangat efektif untuk mengangkat atau menggali potensi-potensi lokal (daerah).***