Dimuat Pada Majalah FFB - Mei 2012 (25 Tahun FFB)
Oleh Eddy D. Iskandar
SEBUAH ruang di lantai dua PT Kharisma Jabar Film, 25 tahun yang
silam menjadi saksi tempat berkumpulnya beberapa orang dari berbagai
profesi; wartawan, pengamat, dan budayawan. Tiap hari Jum’at, mulai jam
14.00, sedikitnya menonton dua buah film terbaru yang akan beredar di
bioskop Bandung – apakah itu film Indonesia atau film asing. Setelah
menonton film, tidak lantas pulang, melainkan saling mengemukakan
pendapatnya masing-masing tentang film yang barusan ditonton. Kadangkala
terjadi perbedaan pendapat, tapi umumnya memiliki persepsi yang sama
dalam menentukan film yang baik.
Seringnya berkumpul lalu mendiskusikan film yang sudah ditonton,
menimbulkan gagasan untuk menyampaikannya kepada khalayak. Salah satunya
diapresiasi oleh harian ‘Pikiran Rakyat’ yang bersedia memuat hasil
pengamatan mereka. Bahkan kemudian menerbitkan ‘Buletin FFB’, yang
memuat kritik dan resensi film yang akan atau sedang beredar di bioskop
Bandung, lalu dibagikan kepada pembeli karcis di bioskop, juga
didistribusikan ke beberapa perguruan tinggi. Sayang, ‘Buletin FFB’ tak
berumur panjang, karena terbentur ketentuan, bahwa media yang beredar
untuk umum mesti memiliki ‘Surat Izin Terbit’.
Mereka yang pada awalnya sering berkumpul adalah Chand Parwez Servia,
Eddy D. Iskandar, Sudjoko, Us Tiarsa R., Sutardjo A. Wiramihardja,
Farida Srihadi, Edison Nainggolan, Hilman Riphansa, Jakob Sumardjo,
Saini KM, Sofia F. Mansoor, Drs. Sunaryo, dan Hernawan. Sebagian dari
mereka kemudian mencetuskan gagasan berdirinya Forum Film Bandung.
Semula nama yang digunakan adalah Festival Film Bandung. Tapi
kemudian ada ‘larangan’ dari Departemen Penerangan RI – melalui Direktur
Pembinaan Film dan Rekaman Video, dalam suratnya tertanggal 7 Maret
1988, yang menyarankan agar mengganti istilah ‘festival’, dengan
pertimbangan bahwa hanya ada satu festival film di Indonesia yang diakui
secara resmi, yakni Festival Film Indonesia. Karena tujuannya bukan
untuk bersaing dengan FFI, maka semua sepakat menggantinya dengan Forum
Film Bandung (FFB).
Prof. Sudjoko, dosen Senirupa ITB, yang banyak menulis di berbagai
harian terkemuka, dikenal pula sebagai seorang ahli bahasa. Dialah yang
mengusulkan istilah ‘terpuji’ dan bukan yang ‘terbaik’, untuk nama
penerima penghargaan FFB. Istilah-istilah lainnya yang digunakan Sudjoko
adalah ‘film laga’ untuk film action, ‘nara film’ untuk penggarap
film, ‘film manca’ untuk film asing, ‘regu pengamat’ untuk dewan juri,
‘regu pengurus’ untuk ‘panitia penyelenggara’, dan banyak istilah
lainnya yang kemudian digunakan oleh media massa.
Banyak tokoh perfilman yang terus mendukung secara moril sejak
kehadiran FFB, mereka antara lain Hatoek Subroto, Harris Lasmana, H.
Misbach Jusa Biran, Deddy Mizwar, Slamet Rahardjo Djarot, Ilham Bintang,
Firman Bintang, Rachmat Hidayat, juga wartawan dari semua media cetak
yang terbit di Bandung dan Jakarta. Bahkan kemudian, juga dari media
elektronik.
Sewaktu penyelenggaraan FFB 2002, tanggal 1 April, Slamet Rahardjo –
mewakili insan perfilman nasional, menyarankan agar nama kegiatan Forum
Film Bandung dikembalikan kepada nama awal berdirinya, yakni Festival
Film Bandung, karena di era reformasi tak ada lagi ketentuan festival
film hanya milik FFI seperti pada masa Orde Baru.. Menanggapi saran
tersebut, maka melalui rapat FFB diputuskan, bahwa nama Forum Film
Bandung tetap digunakan, sedangkan kegiatan puncaknya mengadakan
Festival Film Bandung. Dan itu dimulai sejak tahun 2003. Bahkan
kemudian, FFB juga selain menilai film Indonesia dan film asing, juga
mengumumkan penilaiannya untuk sinetron.
Piala FFB diciptakan oleh seorang tokoh senirupa terkenal Drs. Sunaryo, yang kini memimpin “Selasar Sunaryo”.
Menghargai Perbedaan
Kehadiran FFB, tak bisa dilepaskan dari sosok Ir. Chand Parwez
Servia. Dialah yang memberi fasilitas tempat, bahkan mengeluarkan dana
selama puluhan tahun untuk lancarnya kegiatan FFB. Begitu juga para
pendiri dan pengamat FFB, dalam menilai film selama setahun tidak
menerima honorarium sebagaimana lazimnya menjadi juri atau pengamat
untuk sebuah kegiatan.
Dimulai dengan pertemanan Parwez dan Eddy D. Iskandar, sewaktu
berlangsung Festival Film Indonesia yang dilangsungkan di Bandung pada
tahun 1985. Parwez yang baru pindah dari Tasikmalaya ke Bandung,
menempati rumah, kantor, dan preview room di jalan Jendral
Sudirman 554, mengajak Eddy untuk menonton di tempatnya. Salah seorang
wartawan yang sudah mangkal di situ adalah Hilman Riphansa. Kemudian
Parwez, meminta Eddy agar mengajak wartawan film, pengamat, seniman dan
budayawan untuk menonton film-film yang akan beredar di bioskop, agar
nanti bisa ditulis di media massa. Itulah awal berkumpulnya sejumlah
tokoh dari berbagai kalangan, untuk menonton di tempatnya Parwez.
Ketika Parwez pindah ke Jakarta, motor penggerak utama organisasi FFB
adalah Edison Nainggolan, Hilman Riphansa, Eddy D. Iskandar, dan Yana
Mulyana. Sedangkan yang lainnya, lebih mengutamakan kepada penilaian.
Kian berkembangnya FFB, membuat para pengurus FFB sepakat untuk merekrut
anggota baru, dengan syarat utama; yang suka menonton film – tak
perduli apapun profesinya. Maka bergabunglah sastrawati Aam Amilia,
pengamat film Arief Gustaman, dokter gigi spesialis bedah mulut Asri
Arumsari, kolumnis Abdullah Mustappa, pelukis Dr. Tetet Cahyati,
sutradara teater/wartawan Rosyid E. Abby, penata artistik film dan
teater Agus Safari, pengarang dan pengamat film Yus R. Ismail, wartawati
Ratna Djuwita, aktivis musik Herry KS, penata teknis Jajat Sudrajat, Peneliti di ITB Ardityo Danoesoebroto, Penata Acara Daan Aria (P.Project) juga
Riaz Nizar dan Feroz Nizar sebagai bendahara.
Di jajaran Pembina, yang dipimpin oleh Parwez, ada mantan Kapolda
Jabar H. Edi Darnadi, Wagub Jabar H. Dede Yusuf, dan pengusahan film
Harris Lesmana. Sedangkan Wali Kota – yang kini dijabat H. Dada Rosada,
SH, sebagai pelindung.
Sepanjang perjalanannya, beberapa orang pendiri dan anggota FFB sudah
meninggal dunia, yaitu Suyatna Anirun, Bram M. Darmaprawira, Duduh
Durahman, Sudjoko, Hilman Riphansa, dan Riaz Nisar. Beberapa orang juga
kemudian non aktif.
Ketangguhan FFB yang konsisten menyenggarakan FFB setiap tahun, salah
satunya seperti yang diungkapkan oleh Rosyid E. Abby. “Menurut saya,
salah satu kelebihan FFB dari organisasi lainnya, karena semua anggota
FFB itu saling menghargai perbedaan, dan saling mendukung terhadap
setiap keputusan mayoritas. Selebihnya, FFB ibarat sebuah keluarga yang
sangat menghargai idealisme dan sangat mengutamakan kerukunan meskipun
sering berbeda pendapat,”.
Dalam menilai film Indonesia, FFB punya landasan yang bisa
mempersatukan sikap ketika terjadi saling berbeda pendapat, yakni “Lebih
mengutamakan segi punca atau tajuk (theme), segi maksud (lir, lid), segi gagasan, segi cipta, segi keaslian atau kejatian (originality), juga segi kebaruan dan kemantapan (consistency). Sementara itu disadari bahwa hal-hal pokok ini dapat didukung atau diganggu oleh aneka rinci (suara, gerak, pencahayaan, tatagambar, peristiwa, dsb), ricik (pakaian, kendaraan, perabot dan anekabenda lain) maupun ajang
(taman, pasar, kampung, dll.). Film Indonesia selayaknya berbicara
tentang Indonesia, dengan pengamatan, penghayatan, serta penuangannya
dalam bentuk film secara utuh dan padu. Pribadi yang ditokohkan
hendaknya manusia (di) Indonesia dengan permasalahannya, dilatari
unsure-unsur sosial-budaya.”
Istilah ‘terpuji’ yang digunakan dalam Festival Film Bandung, bukan
tanpa alasan atau ingin sekedar beda dari penilaian festival lainnya.
Sejak awal, Regu Pengamat FFB sudah membuat kesepakatan untuk memilih
kata ‘terpuji’ sama dengan ‘yang mendapat pujian’ atau ‘yang patut
dipuji’. Hal serupa kita bisa dipahami dari kata-kata ‘teratur’,
‘terhormat’ atau ‘terpandang’. Awalan ‘ter’ di sini tidak menyatakan
keadaan ‘paling’, bahkan ‘sangat’ juga tidak. Itu sebagai sikap Regu
Pengamat, bahwa dalam memilih film maupun narafilm yang patut diberi
gelar ‘terpuji’, Regu Pengamat sepakat untuk tidak punya anggapan, bahwa
pilihan mereka itu mutlak yang terbaik. Regu Pengamat hanya ingin
mengundang perhatian, dengan niat ingin membantu masyarakat meningkatkan
pahaman (appreciation) dan wawasan, agar penonton film Indonesia
mempunyai bahan bandingan, baik dengan film sendiri maupun dengan film
manca. Karena itulah film maupun narafilm yang terpilih, yang dipuji,
boleh jadi ada beberapa, atau lebih dari satu.
Bagi Parwez, FFB merupakan ‘tempat kembali’ yang selalu
menginspirasi, membuat pencerahan, di tengah padatnya kesibukan
memproduksi film.
Puisi Film
Salah satu sumbangsih FFB bagi dunia perfilman, dalam usianya yang
ke-25, FFB menerbitkan buku “Pusi Film”, yang memuat 25 puisi karya 25
penyair ternama – termasuk orang film. Para penulis puisi, antara lain:
Putu Wijaya, N. Riantiarno, Slamet Rahardjo Djarot, Armantono, Eddy D.
Iskandar, Arthur S. Nalan, Soni Farid Maulana, Ahda Imran, Nenden Lilis
A., Iman Soleh, Juniarso Ridwan, Yayat Hendayana, Hawe Setiawan, dll.
Dalam sejarah film Indonesia, memang belum pernah ada buku kumpulan
puisi tentang film. Para penyair, dalam buku tersebut – berbeda dengan
pengamat atau kritikus film, mereka bicara tentang film Indonesia dengan
daya ungkap yang lebih peka bahkan tajam, tidak bicara soal teknis,
tapi mengingatkan hilangnya nilai kultural, identitas, serta rasa
khawatir yang mendalam. Meskipun tetap memilihara optimisme. Ada juga
yang mengungkapkan kenangannya, kesannya, terhadap sineas yang konsisten
dengan sikapnya dalam melahirkan film-film yang berkualitas.
Buku “Puisi Film” sesungguhnya bisa menjadi sesuatu yang berarti,
jika diapresiasi oleh berbagai pihak. Apalagi jika ada yang memprakarsai
untuk dipentaskan dari kota ke kota. Melalui buku tersebut, setidaknya
FFB mencoba untuk terus berbuat sesuatu bagi perkembangan film
Indonesia.
Kini penyelenggaraan FFB lebih meningkat lagi, karena selalu dihadiri
artis film/sinetron, tokoh film, pejabat, seniman budayawan, dll.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, selalu hadir pada acara puncak FFB.
Ketika Kapolda Jabar dijabat oleh Irjen Pol. H. Edi Darnadi, Pangdam III
Siliwangi oleh Mayjen Sriyanto, Gubernur Jabar oleh H. Danny Setiawan,
mereka pernah hadir pada puncak acara FFB. Juga Menteri Ir. Jero Wacik,
dan Wali Kota Bandung H. Dada Rosada, SH.
Beberapa artis, tokoh, sineas, pernah mendapatkan penghargaan khusus
FFB atas jasa dan pengabdiannya, seperti Teguh Karya, Nyak Abbas Acup,
Christine Hakim, Dicky Zulkarnaen, Arifin C. Noer, Garin Nugroho,
Rachmat Hidayat, H. Rosihan Anwar, H. Misbach Jusa Biran, Kusno
Sudjarwadi, Chitra Dewi, Nani Wijaya, Arman Effendy, Deddy Mizwar, dan
Mieke Wijaya.
FFB, walaupun diselenggarakan di Bandung, walaupun tidak segebyar
Festival Film Indonesia, tapi esensinya, tujuannya, idealismenya, tetap
konsisten untuk ikut ambil bagian dalam meningkatkan kualitas film
Indonesia, dan memasyarakatkan film-film terpuji.***
Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami.
Subscribe Here!