Oleh Prof. Drs. Jakob Sumardjo
(FORUM FILM BANDUNG)
q
Film Sebagai Pengalaman:
Sebuah
film sampai kepada penonton lewat penginderaan dan pendengaran. Film tidak
menghadirkan segala yang terbau, teraba dan terasa. Film hanya dapat dilihat
dan didengar. Melalui penginderaan pendengaran dan penglihatan itulah film
memberikan pengalaman. Kalau film ingin menyuguhkan pengalaman pembauan kepada
penonton, maka sineas harus berusaha lewat gambar dan suara untuk menghadirkan
pembauan tersebut. Juga kalau mau menyuguhkan pengalaman rabaan (lembut-halus,
kasar, panas, dingin, dsb.), maka peralatan sineas tetap hanya visual-auditif.
Seluruh film menghadirkan pengalaman kepada penonton. Pengalaman yang
disuguhkan harus tetap menarik, mempesona, menghanyutkan perasaan,
memutarbalikkan logika, menjungkirbalikkan kenyataan empiris sehari-hari dan
lain-lain. Pengalaman itu menyampaikan berbagai nuansa perasaan dan
pemikiran kepada penonton. Di sinilah kita bicara soal nilai-nilai.
q
Film Sebagai Nilai:
Nilai
adalah segala sesuatu yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan seseorang untuk
hidupnya. Kebutuhan manusia itu banyak, yakni kebutuhan badan, kebutuhan
psikologi, dan kebutuhan spiritual. Setiap orang menentukan sendiri
kebutuhan-kebutuhannya, ada yang semata-mata kebutuhan badan (makan, minum,
rumah bagus, kenikmatan badani, dan lain-lain.), kebutuhan psikologi, seperti
rasa aman, rasa dihargai, rasa diterima orang lain, rasa dicintai (kebutuhan
sosial), dan kebutuhan spiritual (kesempurnaan hidup, kesederhanaan, keindahan,
kebenaran, kebaikan dan lain-lain.).
Film sebagai cabang karya seni,
memenuhi kebutuhan nilai-nilai yang sifatnya spiritual, yakni nilai keindahan.
Film itu bentuk yang menawan, indah, mempesona, orang selalu ingin melihatnya
lagi sampai puas betul. Dalam seni film, dikenal adanya dua nilai pokok, yakni
nilai bentuk (form) dan nilai isi (content). Nilai ditentukan
oleh material atau medium film, yang berupa unsur-unsur rekaman film terhadap
peristiwa-peristiwa (bikinan, bukan sungguhan). Inilah nilai bentuk dasar film.
Unsur-unsur gambar-gambar rekaman tadi lantas disusun atau distruktur menjadi
satu kesatuan yang utuh dan punya makna.
Gambar-gambar rekaman tadi
(unsur bentuk) adalah perwujudan dari maksud atau gagasan sineas. Gagasan apa?
Yaitu perwujudan dari ungkapan perasaan, pemikiran, pengetahuan dan nilai-nilai
kehidupan seperti nilai-nilai moral, sosial, psikologi, keagamaan dan
lain-lain.
Jadi, dengan menonton film
mengindera film, mengalami film, penonton menangkap nilai-nilai tertentu yang
termuat dalam bentuk film tadi. Pada dasarnya, membuat film adalah menyampaikan
nilai-nilai tertentu kepada penonton film. Membuat film adalah menuangkan
nilai-nilai tertentu dalam bentuk film.
q
Persoalan Nilai:
Nilai sebagai tempat kebutuhan
subyektif seseorang dapat berwujud material maupun non-material. Makan, minum,
istirahat di rumah yang hangat, kebutuhan seks, semua itu nilai-nilai material.
Tetapi, yang lebih penting adalah nilai-nilai non-material. Inilah makna nilai
yang umum. Segala norma, aturan, kaidah, yang disetujui seseorang dan
orang-orang lain, agar mereka dapat melangsungkan hidup sesuai dengan apa yang
dituntut nilai-nilai tersebut. Ada nilai-nilai ideal, ada nilai-nilai nyata.
Setiap manusia memiliki nilai-nilai idealnya masing-masing, baik
subyektif-individual maupun subyektif komunal. Inilah nilai-nilai hidup yang
diimpikan untuk diwujudkan. Namun dalam kenyataan hidup, banyak tingkah laku
manusia yang tidak sesuai dengan apa yang diidealkan itu. Maka terjadilah
konflik nilai-ideal dan nilai-realitas tersebut. Inilah yang membuat hidup itu
menarik. Inilah yang melahirkan pemikiran dan kreativitas. Inilah yang membuat
orang bikin karya seni, bikin film.
Persoalan
nilai dimulai ketika seorang sineas menyaksikan adanya ketidaksesuaian antara
nilai-nilai idealnya. Atau seorang sineas melihat tidak sesuainya lagi
nilai-nilai komunal dengan nilai-nilai ideal temuannya sendiri. Maka sang
sineas mulai bekerja mengajukan tata nilai idealnya sendiri dalam konfrontasi
dengan kenyataan nilai masyarakatnya atau nilai-nilai ideal masyarakatnya.
Misalnya, sineas melihat rata-rata pegawai negeri malas. Ia dapat mengoreksi
kenyataan itu dengan menunjukkan nilai-nilai ideal pegawai negeri itu. Atau
sineas justru melihat, hal itu bukan kesalahan para pegawai, tetapi sistem
kepegawaian (nilai ideal-kolektif) di Indonesia yang harus dirombak. Maka
dia bikin film tentang tidak sesuainya sistem dengan kondisi pegawai.
q
Konstelasi Nilai:
Nilai selalu berhubungan dengan
kepentingan praktis. Nilai ideal itu ada demi kepentingan hidup praktis ini.
Selalu ada subyek nilai,obyek nilai, relasi nilai. Subyek nilai adalah manusia
di suatu waktu di suatu tempat. Manusia belajar nilai-nilai dari lingkungan
masyarakatnya, tentang apa yang dianggap benar, baik dan bagus. Subyek nilai
dapat individual, dapat komunal sosial. Seseorang biasanya menganut sistem
nilai masyarakatnya. Obyek nilai adalah sasaran nilai subyek. dapat nilai
subyek yang lain (manusia lain) dapat benda-benda. Nilai benda bersifat nilai
kualitas. Sedangkan nilai yang berhubungan dengan manusia lain, disebut nilai
pragmatik, dalam arti ada kesesuaian nilai antara seseorang dengan seseorang
yang lain (ada relasi nilai).
Jadi, nilai-nilai dalam sebuah
film ditentukan oleh nilai-nilai masyarakatnya, nilai-nilai subyektif
senimannya, dan nilai-nilai subyektif penontonnya. Inilah sebabnya, sebuah film
dapat menimbulkan berbagai tafsir makna atau tafsir nilai diantara penontonnya,
masyarakatnya, seniman dan penonton, seniman dan masyarakat.
Di bawah ini akan diuraikan berbagai
pokok pemahaman tentang konstelasi nilai-nilai tadi, mulai dari seniman, film
itu sendiri, penonton dan masyarakat. Dengan memahami pokok-pokok ini,
diharapkan seniman film dapat membangun relasi nilai dengan masyarakat dapat
memahami kreatifitas seniman film.
PENONTON DAN HARAPAN
NILAI-NILAINYA
Orang menonton film dengan
berbagai alasan dan dengan berbagai harapan. Harapan itulah dasar alasannya
mengapa ia pergi nonton. Ia pergi nonton karena ingin mendapat apa yang diidamkannya. Dan tiap orang itu berbeda-beda
dalam idamannya, harapannya, keinginannya.
Inilah
beberapa alasan mengapa orang nonton film:
1.
Orang nonton film karena menyukai
jenis film-film efek emosi tertentu,
seperti film komedi, film horor, film misteri, film fiksi ilmiah, film western,
film silat. Jenis penonton ini hanya menyukai film horor saja, atau horor dan
silat, selain itu ia tak mau nonton. Semua film horor bagus baginya, yang bukan
horor, bukan film. Tidak
ada film horor yang tidak bagus.
2. Penonton yang menyukai hiburan
ringan, santai menyenangkan. Nonton adalah untuk
bersenang-senang, bukan untuk berfikir serius, bukan untuk menambah
pengetahuan. Nonton film sama nilainya dengan piknik, belanja di toko,
hura-hura di mall. Film apa pun bagus kalau film itu dapat memberikan kesenangan,
kegembiraan padanya. Biasanya mereka ini menyenangi film-film humor, komedi,
film kocak.
3. Orang nonton film dengan minat serius untuk memahami, mendalami
mengetahui secara mendasar kondisi manusia, dengan capaian artistik yang
tinggi. Jenis penonton ini mencari nilai-nilai baru dalam film, minat
intelektual dan film merupakan bagian pencarian nilai-nilai intelektual.
4. Orang nonton film dengan tujuan menambah pengetahuan di luar tujuan
artistik. Mereka ini hanya kadang-kadang saja nonton film, yakni film-film yang
kebetulan mengandung nilai pengetahuan yang masuk bidang minatnya. Mereka film
yang berhubungan dengan riwayat para suci agamanya, yang mengandung hal-hal
kesenirupaan yang mengandung biografi orang terkenal dan lain-lain.
5.
Orang nonton film karena ingin
melihat bintang pujaannya. Setiap
film yang dibintangi Stallone, John Travolta, Doris Day, pasti ditonton.
Meskipun dalam film itu, Doris Day hanya muncul sebentar, fans berat
bintang ini pasti menyempatkan nonton.
6.
Orang nonton film karena ingin
membuktikan omongan orang tentang kehebatan film tersebut. Jenis penonton ini
mendengar, membaca, atau menonton siaran televisi mengenai film yang dipuji
orang itu.
Dengan
demikian, terdapat motif tertentu, mengapa orang nonton film, mencari
nilai-nilai yang diharapkan diberikan oleh film tersebut. Tentu saja,
penggolongan ini tidak mutlak, dalam kenyataan terdapat berbagai alasan
campuran untuk nonton film. Setidak-tidaknya, dengan pengetahuan mengenai minat
penonton ini, maka sineas dapat merancang film bagaimana yang akan mereka
bikin. Kalau bisa membikin film yang dapat memenuhi sebanyak mungkin minat
penonton tadi, kalau bisa semua minat penonton tadi dapat ditampung, yakni film
yang mengandung efek emosi tertentu, memasang bintang yang banyak penggemarnya
mengandung permasalahan cukup serius.
SENIMAN FILM
Tujuan/Maksud Membikin Film
Terdapat berbagai alasan pula,
seorang seniman film membikin film. Pertanyaan pokok yang dihadapi seorang
seniman film adalah apa tujuan saya membikin film ini? Obyek apa, masalah apa
yang hendak saya garap dan gagasan saya tentang obyek tersebut?
Jadi,
seniman film menghadapi suatu obyek (kejiwaan, sosial, agama, alam), lantas
muncul sikap terhadap obyek yang berupa isi film, dan isi berupa gagasan tadi
diwujudkan dalam bentuk film, melalui pemanfaatan material medium film.
Seniman –
material – medium film – bentuk – isi – sikap – obyek.
Dalam hal
ini, seniman film dapat bersikap: memberikan hiburan kepada penonton, membahas
obyek dengan tinjauan serius atau obyek disikapi dengan penilaian pribadinya
yang khas (auteur).
Keutuhan Bentuk
Kalau tujuan telah ditetapkan,
maka seniman film mewujudkannya lewat elemen-elemen film, seperti cerita,
struktur dramatik, simbol-simbol, karakterisasi, konflik, setting, ironi,
sinematografi, editing, ukuran film, efek suara, musik, acting dan gaya film (genre
atau auteur), menjadi suatu kesatuan yang utuh, bulat, sesuai dengan
tujuan. Elemen-elemen tersebut diseleksi sesuai dengan gagasan pokok seniman
film, yang termuat dalam tujuan.
3. Pendayagunaan Teknologi Film
Dalam dapat diajukan berbagai
pertanyaan kepada seniman film. Apakah dia mendayagunakan seluruh potensi
mediumnya (lihat unsur-unsur film)?
Apakah dia cukup kreatif dengan
menemukan capaian-capaian baru dalam medium film, sehingga memberikan efek
kreatif kepada penonton?
Apakah secara tekhnis hasil yang
dia capai di atas standar atau di bawah standar?
Setiap seniman adalah manusia
yang tidak sempurna, dan kekurangan masing-masing seniman. Seniman A punya
kekuatan dalam bidang x dan y, tapi lemah dalam z. Sebaliknya, seniman B kuat
dalam z dan y, tapi lemah dalam x.
4. Aktor - Bintang
Kalau sebuah film didasarkan
atas penonjolan seorang aktor yang bintang, apakah seniman film memaksimalkan gaya acting bintang tersebut, gaya aktingnya, dan dasar-dasar
kepribadiannya yang khas?
5. Seniman Film Auteur
Apakah seniman film memiliki gaya , teknik, dan
filosofinya yang tercermin dalam seluruh aspek filmnya? Film auteur adalah
refleksi pribadi seniman film, sehingga seluruh element film diperlukan sesuai
dengan pribadinya yang khas, termasuk pilihan aktornya.
6. Seniman Film Idea (serius)
Seniman film ini juga dikenal
sebagai bersikap humanistik-intelektual, yang cenderung memberikan pencerahan
kepada penonton dalam berbagai masalah sosial, moral, agama, psikologi.
pendekatan realisme, mimetik.
7. Seniman Film Realistik
Film-film yang dibuatnya
cenderung memberikan pengalaman dengan efek emosi yang kuat. Biasanya film
dikemas dalam struktur yang padat, penuh aksi, penuh pesona, dan petualangan.
Film jenis ini tidak punya ambisi menyampaikan pesan (seperti film-film idea)
dan menghindarkan diri dari bias intelektual. pemaparan kisah-kisahnya
sederhana, langsung, tanpa pretensi, sehingga menghasilkan film yang sangat
realistik.
8. Film Genre atau Formula
Film dengan resep (formula)
setting, karakter, konflik, plot, konklusi, dan nilai-nilai imaji dasar,
konvensi serta teknik sinematografi yang selalu berulang di tiap film.
Film-film genre yang terkenal adalah, film western, film gangster, film
detektif, film spionase, film musikal, film komedi, atau sejenis film James
Bond. Moral dasarnya adalah kebenaran, keadilan, keberanian akan mengalahkan
kejahatan, ketidak adilan dan ketertindasan. Karena sifatnya yang baku dan konvensional,
maka seniman film harus pandai-pandai membuat variasi dan penyempurnaan
formulanya. Film genre melayani segmen penonton massa di sebuah negara. Di Amerika Serikat,
melayani massa
penonton film kelas menengah. Seniman film memahami benar nilai-nilai kelas ini
dimantapkan lewat film-filmnya, dengan jalan memasang cerita yang mengancam
keberadaan nilai-nilai kelas massa
ini. Sehingga sang pahlawan berhasil mengembalikan kelestarian nilai masyarakat
dengan melenyapkan musuh kelas menengah tersebut. Penonton dipuaskan keinginan
dan harapan nilai-nilai kelasnya. Film genre adalah film yang sudah amat
diakrabi oleh penontonnya, sehingga mereka merasa berada di dalam rumahnya yang
aman.
Resep film
genre terletak pada karakteristik:
Setting
Karakter
Konflik
Konklusi
Nilai-nilai komunal-kolektif
Konvensi-konvensi.
BENDA FILM
Film bukan
gambar realitas sehari-hari. Film bukan rekaman atau dokumentasi kehidupan
jenis film yang demikian dikerjakan oleh film non-cerita, meskipun di situ juga
sudah terdapat tujuan tertentu dari seniman film dokumenter. Hanya saja, tak
ada acting atau peristiwa bikinan yang direncanakan oleh senimannya.
Film adalah realitas baru, yakni realitas transenden (menembus, melampaui,
mengatasi realitas empirik). Oleh karenanya, film selalu memberikan pengalaman
baru pada penontonnya, pengalaman transenden. Bagaiman transendensi itu hadir?
Dengan tiga prinsip pokok:
Setiap film
mendasarkan diri pada realitas sehari-hari, tetapi bukan seperti realitas
konkret itu. Dalam realitas sehari-hari penonton telah mengenal benar hukum
atau dalil sebab-akibat. Misalnya dalil, bahwa orang yang bersalah karena
berbuat jahat akan dihukum. Dalam film, logika sehari-hari tadi dipermainkan
atau diputar balik, dengan prinsip-prinsip:
·
Suspense
atau tegangan, yakni penundaan logika sebab-akibat sehari-hari secara langsung.
Orang yang jahat itu memang telah membunuh, tetapi ternyata ia tidak segera
memperoleh hukumannya, ia seolah bebas, dan hamba hukum sulit menangkapnya atau
mengadilinya. Film
memaparkan liku-liku penundaan logika tadi.
·
Surprise atau kejutan di luar dugaan,
orang jahat kok malah bebas, sedang yang
tak bersalah kok malah dihukum?
·
Curiosity atau rasa penasaran ingin tahu
kesudahannya. Perasaan ini akibat suspens dan surprise yang bermunculan dalam
film, sehingga penonton ingin tahu kesudahannya, apakah si jahat benar-benar
akan dihukum sesuai dengan logika sehari-hari, atau bertentangan dengan logika
dan rasa keadilan masyarakat senyatanya? Di sinilah sikap seniman dituntut
untuk memutuskan, apakah dengan harapan penonton, atau menentang harapan
penonton? Dalam film genre, tentu harapan penonton akan di penuhi, tetapi belum
tentu dalam film auteur.
·
Realitas dalam film: film memotret realitas bikinan,
bukan realitas pengalaman sehari-hari, meskipun dasar realitas film adalah
realitas sehari-hari. Film adalah ungkapan gagasan, perasaan seniman film atas
realitas sehari-hari, hasilnya adalah realitas film yang bersifat menembus,
mengatasi dan melampaui pengalaman sehari-hari. Film adalah realitas
transenden. Seniman film menciptakan film berdasarkan pengalaman zamannya.
Sedangkan pengetahuan seniman diperoleh dari membaca dan mendengar serta
menonton film-film yang telah ada. Dengan demikian, titik tolak seniman
menciptakan film adalah berdasarkan film-film yang telah ada, atau budaya film.
Film-film tersebut dibikin menurut konvensi (aturan, kebiasaan tak mengikat)
yang ada. Karenanya hanya konvensi, maka setiap seniman film punya hak untuk
menciptakan konvensi baru (kalau kemudian ditiru oleh seniman berikutnya).
·
Bentuk perasaan: film mengandung nilai-nilai
kualitas perasaan tertentu. Perasaan dalam film dasarnya juga perasaan dalam
pengalaman sehari-hari, tetapi telah diberi makna baru oleh seniman. Perasaan
transenden pula. Kalau ada gambaran kesedihan kehilangan kekasih dalam film,
maka kesedihan di situ terbentuk dalam hubungannya dengan seluruh sistem film,
sehingga kesedihan tersebut adalah kesedihan yang hanya terasa dalam film itu.
Perlu dibedakan antara perasaan yang direpresentasikan seniman dalam film dan
perasaan yang terasa oleh penonton atas film tersebut. Karena perasaan itu
sifatnya subyektif (pengalaman dan pengetahuan) maka perasaan dalam film juga dapat di tangkap secara berbeda
oleh para penontonnya.
·
Bentuk dan makna: peristiwa-peristiwa yang merupakan
unsur-unsur film, mengandung makna (arti rasional) dalam suatu kesatuan sistem
(ingat tujuan utama pembuatan sebuah film). Peristiwa yang sama, kalau dipasang
dalam sistem yang berbeda, akan menghasilkan makna yang berbeda pula. Dapat
dibedakan berbagai makna dalam film:
o
Makna
refrensial: makna yang hanya dapat difahami berdasarkan ruang dan waktu film.
Misalnya, sebuah “toko besar” tahun 1950-an di Glodok, tentu berbeda dengan “
toko besar” di Glodok zaman sekarang.
Makna
eksplisit: makna lugas. Kalau digambarkan seorang anak remaja minggat dari
rumah, maka memang makna minggat itu yang dimaksudkan. dan setelah minggat,
dengan nasib terlunta-lunta, maka ada kerinduan untuk pulang ke rumah.
o
Makna
implisit: minggatnya anak dari rumah. merupakan kegundahan anak yang merasa tak
bebas akibat ketergantungannya dengan orang tua, maka ia minggat untuk
memperoleh kebebasannya. Kerinduan anak untuk pulang ke rumah, dapat berarti
kegamangan anak dalam menempuh kebebasannya. Kebebasan itu penuh risiko, tetapi
ia juga enggan pulang, karena di rumah ia tak akan bebas lagi.
o Makna
simtomatik: nilai sezaman yang sekarang telah berubah, misalnya, gadis naik
sepeda (berkain) tahun 1930-an dinilai tidak sopan, bisa dicap gadis binal.
Prinsip-prinsip keutuhan bentuk
film: film merupakan suatu bentuk utuh karena terdapatnya sistem (pola
keterhubungan antara masing-masing unsurnya) yang hanya ada dalam film itu
saja. Setiap film memiliki struktur bentuknya sendiri. Setiap film merupakan
suatu dunia yang otonom. Meskipun demikian, pokok yang terdapat dalam setiap
sistem, yakni:
Fungsi unsur: setiap bagian sekecil apa pun
dalam film menduduki peran dan fungsinya dalam keseluruhan. Tidak ada bagian
yang percuma atau tidak diberi peran, sekecil apa pun. Nampaknya hanya kejadian
sepele, misalnya kecepatan dalam memencet pisau dalam suatu percakapan, dan
ternyata adegan kecil ini akan berperan besar ketika orang tersebut menghadapi
saat kritisnya menghadapi musuhnya. Setiap shot harus punya fungsi
seperti sebuah kata dalam sebuah puisi.
Kesamaan dan pengulangan: dalam film sering kita saksikan
munculnya seseorang tokoh yang selalu membawa payung, atau berpakaian dengan
warna tertentu, atau mengucapkan kalimat-kalimat tertentu atau kehadirannya
diiringi musik tertentu. Inilah motif, yang berarti penegasan demi makna
keutuhan film.
Perbedaan dan variasi: agar film tidak monoton, maka
diusahakan agar pengulangan adegan-adegan tertentu diberi perbedaan dengan yang
sebelumnya, atau kontras dengan adegan serupa sebelumnya. Kejadian di kamar
yang itu-itu juga secara berulang, dapat diberi variasi dengan cahaya, sudut
pengambilan, pewarnaan dan lain-lain.
Perkembangan: hal ini telah dibicarakan dalam
penyusunan alur cerita.
Unity dan disunity: kadang diperlukan suatu shot atau
adegan yang tidak nyambung dengan keseluruhan film, sehingga orang akan
mengatakan: “itu bukan bagian dari film”. Tetapi
kadang ini perlu, kalau dapat memberikan efek demi keutuhan film. Disunity
dapat memberikan arti “perkataan yang tak dijawab” oleh film. Lenyapnya suatu
tokoh tanpa penjelasan lebih lanjut, merupakan disunity, dan ini dapat
merupakan pertanyaan untuk makna film secara keseluruhan.
FILM DAN MASYARAKAT
Ada film Amerika, film Perancis, film Jepang,
film Rusia, film Hongkong, yang masing-masing mempunyai karakteristiknya
sendiri. Ini disebabkan, film adalah salah satu karya budaya suatu masyarakat,
dan hidup untuk masyarakatnya. Film dibuat menggunakan bahasa masyarakat
setempat, sehingga jelas sasaran komunikasinya. Maka, mau tak mau setiap film
mempedulikan sistem nilai masyarakat. Kalau orang membikin film dalam bahasa
Jawa, jelaslah masyarakat mana yang diajak bicara melalui film tersebut. Film
demikian itu, tak mungkin membicarakan masyarakat dan budaya Minang atau
masyarakat Jawa yang berada di kota-kota besar.
Bahasa, budaya, mitos-mitos, dan simbol-simbol
menjadikan suatu masyarakat sebagai satu kesatuan sistem nilai. Film Indonesia
adalah film dengan bahasa Indonesia, tentang budaya dan masyarakat Indonesia,
berdasarkan mitos-mitos dan simbol-simbol Indonesia. Pertanyannya, apakah
budaya, mitos, dan simbol-simbol Indonesia itu? Jawabnya, semua yang telah
masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia.
Film Indonesia mempersoalkan nilai-nilai
Indonesia itu. Dan nilai-nilai Indonesia itu baru tumbuh, sekurang-kurangnya
sejak tahun 1908. Sementara itu masih tumbuh dengan kuat nilai-nilai setempat,
yakni daerah-daerah budaya etnik. Maka sering terjadi benturan nilai dalam film
Indonesia, manakala film mempersoalkan nilai-nilai budaya etnik dalam pandangan
tata nilai Indonesia. Film demikian sering terjebak dalam bias nilai nasional
atas budaya etnik. Maka, sebaliknya, pengangkatan nilai-nilai budaya etnik
ditinjau dari sistem budayanya sendiri. Berbicara tentang budaya Bali,
berdasarkan tata nilai masyarakat Bali sendiri, meskipun film berbahasa
Indonesia.
Film Indonesia, sebagian besar diproduksi di
Jakarta dengan tata nilai masyarakat metropolitan dan kosmopolit. Jakarta
adalah pintu masuk berdasarkan pandangan metropolit-kosmopolit tadi. Inilah
sebabnya, pengaruh budaya film kosmopolit cukup besar andilnya dalam mewarnai
tata nilai film Indonesia.
Dan
film-film demikian itu hanya dapat berbicara kepada masyarakat yang mendukung
tata nilai budaya kosmopolit di beberapa kota metropolit Indonesia (Jakarta,
Medan, Surabaya, Bandung, Palembang, Makasar, Yogya, Semarang dan lain-lain.).
Berdasarkan orientasi budaya ini, film
Indonesia harus menentukan diri berbicara untuk lingkungan masyarakat Indonesia
yang mana. Masyarakat Indonesia masih dalam pertumbuhannya menjadi suatu
kesatuan budaya berdasarkan budaya-budaya lokal. Sebagian besar masyarakat
Indonesia justru masih kuat tata nilai lokalnya. Apakah melayani masyarakat
metropolis atau masyarakat daerah-daerah? Menilik sistem produksi dan
distribusi film di Indonesia masih kuat sistem metropolis-metropolisnya, maka
film-film berdasarkan sistem budaya masyarakat kota-kota besar itu menjadi
pilihan satu-satunya. Gedung-gedung bioskop baru di kota-kota kabupaten, belum
kecamatan.
Karena masyarakat kota-kota besar kebutuhan
akan film telah dapat dipenuhi oleh film-film impor, maka produksi film
Indonesia harus menghindarkan diri dari peniruan dan penjiplakan film-film
asing tersebut. Film Indonesia adalah film yang berbicara masyarakat Indonesia
kota-kota besar, dengan cara dan estetika Indonesia yang harus ditentukan.
Dengan demikian, dapat kita berbicara tentang “film Indonesia”. Film Indonesia
yang demikian itu akan menyuguhkan tontonan yang berbeda-beda dengan film-film
impor. Film silat Indonesia bukan film silat Hongkong. Film drama Indonesia
bukan drama Amerika atau Meksiko. Film kepahlawanan Indonesia bukan film
kepahlawanan Amerika.
Tradisi atau konvensi film Indonesia yang
demikian itu harus ditemukan dalam sejarah perfilman di Indonesia. Manakala
film-film Indonesia yang menunjukan karakteristik yang berbeda dengan film-film
impor yang membanjiri Indonesia, dan diterima oleh masyarakat kota-kota besar
Indonesia. Untuk itu perlu penelitian sosiologis perfilman Indonesia, siapakah
di balik produksi film-film Indonesia. Para pembuat film Indonesia dengan latar
budayanya amat menentukan jenis-jenis film yang akan diproduksinya.
Film Indonesia adalah “film Indonesia”, bukan
tiruan film-film Amerika, Hongkong, atau India. Dengan menyuguhkan film yang
berbeda ini, masyarakat kota-kota besar akan memperoleh pilihan baru. Memang
bukan kerja mudah, perlu proses, namun pegangan utamanya harus menemukan
karakteristik “film Indonesia”.
Film erat sekali hubungannya dengan teknologi
dan bisnis. Film diproduksi dengan kalkulasi dagang film. Bagaimana film
Indonesia akan laku kalau produksinya tak berbeda jauh dengan film–film impor
yang telah kuat kedudukannya di Indonesia. Kita tidak akan berjualan roti kalau
produk roti asing jauh lebih bagus. Kita akan menjual yang bukan roti, kalau
harus roti pula, maka harus roti dengan selera Indonesia sendiri, yang tidak
mungkin diproduksi di luar negeri.
Film Indonesia berdasarkan basis bahasa,
budaya, mitos, dan simbol-simbol masyarakat kota-kota besar Indonesia. Film
mempersoalkan budaya sendiri, dengan cara sendiri, karena kita memiliki
norma-norma etik sendiri pula. Film-film kepahlawanan Jepang misalnya, dibuat
berdasarkan tata nilai dan etika masyarakat Jepang tentang kepahlawanan mereka.
Film-film semacam itu dihargai oleh budaya-budaya lain, karena menawarkan
nilai-nilai lain. Film-film demikian itu akan ikut menyumbangkan wawasan baru
dalam budaya global.
Film
Indonesia berkonteks budaya masyarakat Indonesia. Entah itu konteks masyarakat
metropolisnya atau masyarakat budaya etniknya. Kita menghargai film Iran karena
berbicara tentang masyarakat Iran modern, bukan film Iran yang meniru produk
film asing. Orang Indonesia akan menonton film Indonesia kalau memuat tata
nilai Indonesia, bukan film Indonesia yang bergaya Amerika atau Hongkong.
Selama ini,
keindonesiaan data film baru hadir dalam film-film jenis auteur. Film-film
genre masih kuat unsur peniruannya, atau setidak-tidaknya masih berorientasi
pada film-film impor yang laku kesar di kota-kota besar Indonesia. Sah-sah saja
membikin sinetron kelas atas masyarakat metropolit, tetapi apakah benar
berdasarkan realitas kelas atas tersebut? Dan dengan gaya penuturan film atau
sinetron impor yang laris di sini?
Juallah barang dagangan yang berbeda dengan
barang dagangan yang kini tengah digandrungi masyarakat Indonesia.
Sumber Bacaan:
Bill Nicholas. Movie dan Methods. University of California . 1976
James Monaco. How to Read A Film. Oxford University .
1981
David Bordwell, & Kristin Thompson. Film Art, An
Introduction. Mc Graw Hill. 1993
Joseph M. Boggs. The Art of Watching Films.
Mayfield Publishing. 1991
Tadao Sato. Currents in Japanese Cinema. Kodansha
International. 1987
V.F. Perkins. Film As Film. Penguin Books. 1978