Oleh Eddy D. Iskandar
(FORUM FILM BANDUNG)
KALAU saja tak ada Usmar Ismail, belum tentu nama Rachmat
Hidayat akan dikenal sebagai seorang bintang film. Mungkin ia masih menjalani
kehidupannya sebagai seorang jagoan yang disegani. Bahkan sutradara Usmar
Ismail tertarik kepada Kang Rachmat (begitu ia biasa dipanggil), juga karena di
hadapan Usmar, Kang Rachmat menunjukkan sosok jagoannya. Di tangan Usmar, Kang
Rachmat yang pernah mengecap jadi Polisi Militer, kemudian menjelma menjadi
seorang pemain yang menonjol aktingnya.
Beberapa film karya Usmar Ismail yang
dibintangi Kang Rachmat, antara lain Toha Pahlawan Bandung Selatan, Anak
Perawan di Sarang Penyamun, The Big Village, dan Ananda.
”Akang
banyak menimba ilmu dari Pak Usmar. Beruntung Akang ditemukan oleh seorang
sutradara yang dikenal sebagai pelopor perfilman Indonesia”, ungkap Kang
Rachmat. Tentu keberuntungan Kang Rachmat bukan hanya sampai di situ. Ia juga
merasa beruntung, sebab pernah merasakan arahan sutradara yang menonjol reputasinya,
misalnya dalam film Flamboyant (Syuman Djaya), Senyum di Pagi Bulan Desember
(Wim Umboh), Tikungan Maut (Nyak Abbas Akup), Bos Carmad (Chaerul Umam),
Kasmaran (Slamet Rahardjo), Pacar Ketinggalan Kereta (Teguh Karya), November
1828 (Teguh Karya), Buce Malawau
(Potret), dan lain-lain.
Tahun enam
puluhan, Kang Rachmat sempat jadi produser dan pemeran utama film Tikungan
Maut, berpasangan dengan Nani Wijaya. Tentang film tersebut, Slamet Rahardjo
yang sempat menyaksikannya beberapa tahun lalu, merasa sangat terkesan dengan
akting Kang Rachmat yang dianggapnya begitu kuat. Soal kekuatan akting, tidak
hanya tergambar dari penilaian Slamet, sebab Kang Rachmat juga pernah
mendapatkan penghargaan Piala Citra sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik melalui
film Pacar Ketinggalan Kereta, dan Pemeran Pembantu Terbaik melalui film
Bos Carmad. Bahkan tahun enam puluhan, ia pun mendapatkan penghargaan
sebagai Aktor Terbaik dari PWI Jaya Seksi Film.
Kalau di
masa muda Kang Rachmat pernah merasakan diburu produser sebagai bintang idola,
maka pada masa tuanya pun popularitasnya seakan
tak pernah pupus. Buktinya ia mampu mengimbangi popularitas Si Kabayan
(Didi Petet), melalui perannya sebagai Abah dalam film produksi kerjasama PT
Kharisma Jabar Film dan Pemda Provinsi Jabar, Si Kabayan Saba Kota, Si
Kabayan dan Gadis Kota, Si Kabayan dan Anak Jin, Si
Kabayan Saba Metropolitan, dan Si Kabayan Mencari Jodoh. Bahkan
gerutuannya yang khas, begitu dikenal khalayak, yakni ucapan Si Borokokok! Film‑film
lainnya yang dibintangi Kang Rachmat, Sanrego, Mat Peci Pembunuh
Berdarah Dingin, Beningnya Hati Seorang Gadis, Dalam Kabut dan Badai, Gadis
Marathon, Jual Tampang, dan lain-lain. Ketika produksi film Indonesia
mengalami masa surut, seperti halnya pemain film lain, Kang Rachmat juga main
dalam sinetron. Bahkan ia memerankan tokoh utama dalam sinetron produksi
Indosiar yang begitu populer Pondok Pak Djon. Sinetron tersebut, dibuat
lebih dari seratus episode.
PENGABDIAN
Kang Rachmat, tidak hanya ditunjukkannya dengan mengukir prestasi melalui film.
Ia juga menjadi Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Cabang Jabar.
Kedudukannya sebagai ketua, seolah tak tergantikan, sebab sosoknya begitu
disegani, mau banyak berkorban demi kepentingan organisasi. Kebanyakan produser
atau sutradara yang hendak melakukan syuting di Bandung, seringkali mengadakan
konsultasi dengan Kang Rachmat, sebab ia memang dituakan, dijadikan
tempat bertanya dan meminta pendapat. Dan Kang Rachmat pun tak segan‑segan
untuk membantu dan memberi dukungan moril. Di bawah kepemimpinannya, Parfi
Jabar begitu solid dan disegani Parfi Pusat. Bahkan dalam setiap pemilihan
Ketua Umum Parfi Pusat, suara Parfi Jabar selalu jadi penentu. Tidak heran
kalau Kang Rachmat juga sempat diusulkan untuk menjadi Ketua Umum Parfi Pusat,
tapi ditolaknya. Bagi Kang Rachmat, memajukan artis dan perfilman Jabar jauh
lebih penting dan memiliki kepuasan tersendiri. Sama halnya dengan sikapnya
untuk tetap tinggal di Bandung. Kalau saja sejak dulu Akang mau pindah ke
Jakarta, pasti kehidupan materi Akang akan jauh lebih baik. Di Jakarta kan
pusatnya produksi film, Akang akan dengan mudah main dari satu film ke film
lain, sebab umumnya sutradara dan produser begitu dekat dengan Akang, tutur
Rachmat beberapa tahun silam.
Tapi Kang
Rachmat tidak tergiur untuk pindah ke Jakarta. Ia memilih didugdag dari
Bandung ke Jakarta untuk syuting film. Bahkan tahun enam puluhan, ia masih kuat
menggunakan Harley Davidson dari Bandung ke Jakarta. Salah satu
alasan enggan pindah ke Jakarta, karena Akang sangat mencintai Bandung, dan
Akang ingin selalu mengharumkan nama Bandung. Di kalangan artis film
Jakarta saat itu, Kang Rachmat juga begitu disegani. Semua memanggilnya dengan
sebutan Akang. Malah kalau ada konflik di lingkungan Parfi, atau di
kalangan artis film, ia selalu jadi juru damai. Kehadirannya senantiasa
mampu meredam konflik.
TAHUN 2003,
sosok Kang Rachmat sepertinya tak begitu mencuat. Aktivitasnya tidak banyak
diketahui. Tiba‑tiba, banyak yang merasa kaget, ketika muncul berita Kang
Rachmat kena serangan stroke. Banyak yang tak percaya, sosok lelaki tampan
berbadan kekar itu mendapat serangan penyakit yang bisa melumpuhkan
profesinya. Dalam usia 70 tahun, sebelum mengalami stroke, ia masih tetap
gagah, meskipun rambutnya memutih dan garis ketuaannya kian menguat.
Tapi begitu
mengalami stroke, berat badannya agak menyusut. Saya sendiri sangat terharu,
sewaktu Kang Rachmat datang menghadiri resepsi pernikahan putri saya. Ia
berjalan tertatih‑tatih dengan menggunakan tongkat, menyalami dan merangkul
saya dengan mata berkaca‑kaca. Tapi saya juga begitu bersyukur, sebab Kang
Rachmat bisa bertemu dengan tokoh film yang begitu dekat dengannya H. Misbach
Jusa Biran dan istrinya Hj. Nani Wijaya, yang juga hadir dalam resepsi itu.
Ketika
kemudian Kang Rachmat ditampilkan sebagai cover tabloid Sunda Galura, kepada
wartawan Galura M. Malik dan Herry K.S., Kang Rachmat menceritakan penyebab
penyakit stroke. Akang diundang makan oleh sahabat Akang zaman muda. Ia
menyediakan makanan favorit Akang, yaitu semur jengkol dan petai serta ikan
asin. Entah kenapa, saat itu Akang merasakan nikmat yang luar
biasa. Setelah pulang ke rumah, Akang mengalami pusing dan selanjutnya kena
stroke.
Yang luar
biasa, karena Kang Rachmat menceritakan semua pengalaman sakitnya itu tidak
dengan mengeluh, tapi dengan penuh canda. Semangatnya untuk memulihkan stamina
juga sangat kuat. Ia disiplin berlatih jalan kaki, agar bisa berjalan tanpa
tongkat lagi. Ia juga sering diajak mancing oleh rekan‑rekannya yang sudah
lanjut usia. Beberapa orang sineas, ada yang datang menengoknya, antara lain
Slamet Rahardjo.
Bahkan ada
yang memaksa menawari main sinetron. Tapi Kang Rachmat ingin main sinetron lagi
dalam kondisi fisik yang lebih baik. Kendati pun didera penyakit yang ditakuti
banyak orang di usia lanjut, semangatnya untuk main dalam film atau sinetron
tak pernah pudar. Bisa jadi karena ia merasa total ada di dunia
film. Hanya itu yang jadi ladang penghasilan dan kebanggaan Akang, ujarnya.
Rachmat Hidayat, bagaimana pun juga seorang aktor berprestasi yang besar jasa
dan pengabdiannya terhadap film Indonesia, bahkan juga mengharumkan Bandung ‑
kota yang begitu dicintainya.