Oleh Endah Asih Lestari
(FORUM FILM BANDUNG)
TIGA pekan
sebelum ditayangkan di Bandung, "Jalanan" banyak menyedot perhatian. Tak
hanya pelaku di dalam industri perfilman, kritikus film pun memberikan aspirasi
-mayoritas- positif. Tak ketinggalan, netizen pun bereaksi lewat kicauan di
dunia maya.
Sempat tersembul pertanyaan, apakah peredaran film ini akan
sampai ke Bandung ?
Kalau tidak, artinya saya harus datang ke Jakarta
untuk melampiaskan rasa penasaran.
Untungnya, tidak perlu. Pekan lalu, "Jalanan" (Streetside) ditayangkan di bioskop Kota
Bandung. Hanya ada satu jaringan XXI
yang menayangkan, yaitu Trans Studio Mall. So, here I am. Berada di studio 7 TSM bersama
sembilan penonton lainnya. Dari detik pertama film bergulir sampai credit title
selesai, kami -yang tak saling mengenal- benar-benar tak meninggalkan tempat
duduk.
Marjinal adalah
frase yang menjadi nafas film ini. Film dokumenter ini mengisahkan tiga musisi
jalanan: Boni, Ho, dan Titi. Meski banal, film ini menelanjangi cukup banyak
aspek kehidupan kaum marjinal yang jarang tersentuh keberpihakan. Uniknya,
lewat serangkaian kisah, penonton justru berpihak karena bersimpati kepada
ketiga tokoh yang menjadikan sequence bergulir.
Hal yang
menjadikan film dokumenter ini bernyawa, adalah jarak yang ditepis sedimikian
rupa antara kamera dengan objek yang diceritakan. Menampilkan fakta laten, film
dokumenter ini menyuguhkan beberapa hal tertutup dari suatu fenomena yang
sebenarnya terbuka dan mudah ditemui siapapun.
Tak ada kesan
canggung. Hanya ada kedekatan yang sederhana. Untuk poin ini, pujian saya
berikan kepada sutradara sekaligus produser (dan atas banyak peran lain yang
dilakukan sendiri), kepada sang sutradara, Daniel Ziv.
Meminjam istilah
Boni, kehidupan yang didokumentasikan pada kisah milik Boni, Titi, dan Ho,
ibarat memaku besi. Saat diketuk, paku bukannya masuk, malah penyok. Narasi
awal itu cukup menggambarkan keseluruhan kisah.
Diawali dengan
kontradiksi city light Jakarta dengan kehidupan "kolong", bagian
pembuka film ini cukup memukau. Paradoks terjadi ketika kamera menyorot dua
arah (meski di lokasi yang sama). Jika permukaan yang terlihat adalah bangunan
tinggi dan mewah, maka pemandangan dari kolong jembatan sederhana saja: seperti
hutan yang natural.
Dalam dokumenter
ini, penonton disajikan banyak cerita. Mulai dari rumah tangga Boni dengan
istrinya yang menempati kolong jembatan di sekitar Bundaran HI, kisah hidup
Titi yang menjadi single parent namun tetap memiliki keinginan untuk belajar,
hingga percintaan Ho yang on off.
Meski proses
syuting tidak berlangsung setiap saat, namun waktu lima tahun yang dimiliki
Daniel sudah lebih dari cukup untuk menampilkan konsistensi dan keintiman
dengan tokoh. Ada pertengkaran antara Boni dan istri, perjalanan pulang Titi,
hingga rayuan tawar menawar Ho dengan salah seorang pekerja seks komersial. Bilik
renyot di pinggir kali (dan tentunya penonton) menjadi saksi betapa jarak
antara pembuat dan pelaku film tak menjadi soal.
Ada pula tatapan
nanar Boni yang terekam jelas saat melihat "rumah"nya dibongkar
aparat, hingga kencan pertama dan hari pernikahan Ho yang terdokumentasikan
dengan baik.
Hanya saja,
beberapa narasi dalam film ini terlihat kurang jujur. Tokoh mengeluarkan isi
pikirannya di depan kamera, namun terlihat seperti akting bernaskah di beberapa
bagian.
Misalnya saat Ho
sedang mengamen dan terjaring petugas Tramtib. Dia lalu digelandang ke sebuah
tempat penampungan penyandang masalah kesejahteraan sosial. Sejak awal
penertiban, kamera Daniel setia mengabadikan momen. Bahkan ketika Ho berada di
atas mobil penertiban, hingga di dalam barak.
Di situ, posisi
Daniel sebagai jurnalis mungkin menguntungkan sehingga bisa mendapatkan akses
masuk. Namun entah mengapa, ada beberapa bagian yang terasa kurang natural,
layaknya film dokumenter sebenarnya. Biasanya, realita yang terekam kamera
dalam film dokumenter akan bercerita dengan sendirinya. Bukan narasi yang utama
bercerita.
Beberapa
dramatisasi juga sepertinya sengaja dibuat, untuk meracik kisah agar lebih
menarik. Topik "umpatan" yang konsisten hadir, adalah soal susahnya
hidup di ibu kota, krisis moneter, reformasi, hingga "masturbasi". Klise,
namun cukup menohok.
Untuk sebuah film
dokumenter, sudut pengambilan kamera di film ini cukup menimbulkan kesan. Meski
banyak dilakukan secara handheld, pergerakan gambar dan angle yang disorot
cukup memberikan nuansa segar.
Dikemas dalam
sajian yang semi musikal, soundtrack dan musik pengiring latar dalam film ini
cukup melenakan. Racikan melodi balad hingga rock and roll yang berkarakter,
efektif menahan kantuk meski saat adegan bergulir dengan lambat.
Apapun kesan
personal yang tinggal di benak penonton, rasanya tak menjadi soal lagi. Lewat
kisah dan penggarapan yang disodorkan, "Jalanan" sangat memberikan
warna baru dalam film dokumenter Indonesia.
Beberapa penghargaan internasional telah diraih, seperti
Busan International Film Festival (BIFF). Pekan depan, "Jalanan" juga
akan diputar dalam Tel Aviv International Documentary Film Festival. Bukan tak
mungkin, "Jalanan" akan diganjar penghargaan serupa di negerinya
sendiri. Setidaknya, kesempatan berupa waktu penayangan yang cukup panjang di
bioskop tanah air bisa didapatkan. Toh biasanya, kesempatan itu tak didulang
oleh film dokumenter lain.