Oleh: Yus R. Ismail
Kehadiran Deddy
Mizwar dalam dunia perfilman lima
tahun terakhir ini menarik untuk dinikmati. Bukan karena bertambahnya peran Deddy
Mizwar sebagai sutradara dan produser. Atau penampilannya sebagai aktor tetap
stabil seperti pada waktu dia memainkan tokoh Nagabonar atau wartawan dalam film
Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Tapi lebih pada gagasan-gagasannya yang
melatarbelakangi film-filmnya.
Kenapa gagasan
menjadi sesuatu yang menarik? Bukankah sejak awal kehadiran film (film dibuat)
tidak lepas dari gagasan yang melatarbelakanginya? Artinya, gagasan dalam dunia
film adalah barang lapuk. Sebut saja nama Usmar Ismail, Syumanjaya, Misbach
Yusa Biran, Asrul Sani, Teguh Karya, Arifin C. Noor, atau yang masih berkarya
dan potensial berkarya seperti Eros Djarot, Arswendo Atmowiloto, Slamet
Rahardjo Djarot, Garin Nugroho; gagasan dalam film menjadi akan sangat panjang
untuk dibahas.
Film-film Deddy
Mizwar menjadi menarik untuk dinikmati karena hadir bersamaan dengan
kebangkitan perfilman Indonesia
era 2000-an. Sekarang ini setiap minggu akan muncul film Indonesia . Banyak film yang
bertahan di bioskop sampai berbulan-bulan. Tapi kebanyakan hanya menghibur.
Miskin gagasan. Meski kalau menyebut beberapa nama, begitu besar harapan kepada
Hanny R. Saputra (sutradara film Virgin, Heart, love is Cinta), Nan T Achnas
(Pasir Berbisik, The Photograph), Rudi Soedjarwo (Ada Apa dengan Cinta?,
Mengejar Matahari, Mendadak Dangdut). Setidaknya dengan film-film yang telah
dibuatnya, mereka sangat diharapkan “menyentuh” dan menebar spirit kemanusiaan
melalui film, setidaknya lebih dari sekedar menghibur dan menakut-nakuti.
Deddy Mizwar
bisa dibilang pewaris generasi perfilman satu generasi lalu, generasi yang
menekankan gagasan sebagai spirit dibuatnya sebuah film. Setidaknya begitu kesimpulan
sementara setelah menikmati film Kiamat Sudah Dekat (2003), Ketika (2004),
Nagabonar Jadi 2 (2007). Atau dalam sejumlah sinetron televisinya seperti Lorong
Waktu, Adillah, dan yang menghibur saat makan sahur bulan puasa lalu, Para
Pencari Tuhan.
Sepertinya ada
dua spirit yang menggerakkan film-film Deddy Mizwar. Pertama adalah cinta tanah
air, kebangsaan, spirit yang khas ketika para intelektual setelah masa
kemerdekaan mulai terjun ke dunia film. Spirit yang menjadi mahal untuk
generasi sekarang ini sangat terasa dalam film Ketika dan Nagabonar Jadi 2.
Meski berkisah tentang cinta Mutiara dan Ical, latar belakang peristiwa adalah
imajinasi ketika negara ini menjadi organisasi yang sangat teratur dengan
membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, film Ketika merupakan potret
perjuangan “manusia kita” ketika menghadapi perubahan. Empati terhadap orang
kecil dan semangat untuk bangkit kembali sebagai manusia yang lebih bersih
adalah spirit film ini. Tentu saja
cara mencintai tanah air seperti ini sah saja.
Film Nagabonar Jadi 2 yang rasanya masih melekat
dalam ingatan, lebih jelas lagi karena menceritakan Nagabonar si bekas copet
yang menjadi pejuang itu. Ada banyak adegan yang mengharukan dalam film ini.
Salah satunya ketika Nagabonar berziarah ke patung Soekarno-Hatta. “Baru
kemarin rasanya aku mendengar suara beliau menggelegar di radio mengajak
anak-anak muda melawan penjajah. Seorang pencopet, perampok pun akan tergetar
hatinya kalau dia bicara,” katanya kepada Umar, sopir bajaj yang mengantarnya
keliling Jakarta.
Spirit kedua adalah moralitas kemanusiaan. Hal itu terasa dalam film Kiamat Sudah
Dekat. Pendekatan moralitas agama menjadi masukan yang kental dalam film ini. Karena
itu banyak orang berpendapat di film ini Deddy Mizwar sedang berdakwah. Tapi saya
rasa ini bukan masalah dakwah agama. Dalam versi sinetronnya, sekali waktu pengelola
pangkalan minyak Haji Romli cemburu kepada Togi, mahasiswa terlantar yang
dipekerjakan di situ. Dia protes kepada Haji Romli karena Togi tidak seagama.
Jawab Haji Romli, “Ingat, dulu, sebelum bekerja di sini kamu adalah pencuri. Sewaktu
dikejar massa yang mau menghakimi, kamu berlindung kepada saya. Apakah saya
tanya dulu agamamu sebelum menolong? Kan tidak…”
Gagasan
menyampaikan pencerahan kemanusiaan ini dikemas dengan cerita yang ringan,
gampang dimengerti, dan penuh dengan kelakar. Deddy Mizwar tidak berpretensi
“macam-macam” dalam bercerita. Dia lebih cenderung konvensional. Koherensi
antara tokoh, adegan dengan adegan lainnya, sangat kuat. Meski dalam ilmu
bercerita, juga dalam film, koherensi ini bukan lagi teori baku . Ada
film yang menekankan pada suasana seperti film Garin Nugroho, atau tokoh yang
bercerita masing-masing seperti dalam film Berbagi Suami (Nia Di Nata).
Untuk daya ucap
ini Deddy Mizwar lebih memilih yang klasik. Syarat keberhasilan daya ucap
seperti itu memang terpenuhi dengan cerita (skenario) yang cerdas dan rasa
humor yang tinggi. Skenario yang kebanyakan dibuat oleh Musfar Yasin memang
membuka peluang untuk memotret masalah sosial yang lebih jernih dengan
dialog-dialog yang cerdas. Bisa dibilang, untuk saat ini Musfar adalah salah
seorang penulis skenario terdepan di negeri ini.
Unsur humor juga
menjadi sesuatu yang menarik dalam film-film Deddy Mizwar. Hampir dalam semua
filmnya Deddy menebarkan humor. Biasanya humor ini dibangun dari karakter tokoh
dan penggambaran sosial yang kuat. Misalnya dalam Kiamat Sudah Dekat versi
sinetron ada tokoh Kipli, seorang anak miskin yang sering dipukul bapaknya.
Ketika teman sepermainannya, Saprol, suka diberi permen oleh Sarah karena
Saprol yatim, Kipli pun bercita-cita jadi anak yatim. Atau malah sambil
berhumor juga menyampaikan kritik sosial yang tajam. Misalnya dalam film
Nagabonar Jadi 2, ketika Nagabonar bertemu Mariam yang menjadi staf ahli
menteri, dia bilang: “Setahuku ahlimu cuma mencopet saja. Cukup kau seorang
menjadi pencopet, jangan kau ajari menteri itu mencopet. Apa kata dunia? Tambah
susah rakyat nanti.”
Humor yang disampaikan
Deddy Mizwar memang tidak menampilkan para pelawak seperti yang banyak dalam
sinetron komedi. Tapi rasa humor seperti itu lebih alami, jernih, mengharukan,
dan mengena. Pola seperti ini juga yang mengangkat komedi situasi Bajay Bajuri
beberapa tahun lalu.
Bisa dibilang,
Deddy Mizwar mengemas gagasan-gagasannya dalam cerita dan daya ucap yang
popular. Pilihan ini memang tidak salah. Tapi kadang persoalan yang besar,
gagasan yang sebenarnya mendalam, seringkali mencair begitu saja. Keharuan dan
sentuhan yang sudah hampir mengena terlalu cepat dinetralisir. Dengan begitu,
gaung dari gagasan yang ingin disampaikan tidak telalu panjang. Hal seperti ini
ditandai dengan pilihan akhir cerita yang selalu bahagia. Tapi
berpanjang-panjang pun bukan pilihan yang tepat. Kiamat Sudah Dekat versi
sinetron menjadi contoh bagaimana gagasan kuat bisa kedodoran karena semangat
berpanjang-panjang.***
Penulis adalah anggota Regu Pengamat Festival Film Bandung