Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Katanya Sinematek Indonesia Itu Ada Ya?

Jika kita bicara soal lembaga pengarsipan film di Indonesia, maka tak luput dari tokoh ini; Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, Misbach Yusa Bira, dan Adisurya Abdy yang berkutat, berjuang dan menjalankan Sinematek Indonesia. Ali Sadikin mendukung lahirnya lembaga arsip film, Misbach Yusa Bira pencetus dan sekaligus melahirkan serta melakoni lembaga yang punya harapan terhadap kearsipan film, dan Adisurya Abdy adalah melanjutkan serta melakoni dengan visi dan misi kearsipan film dengan kekinian meski tetap ‘kesunyian’.

KETIKA kami (saya, Ardityo Danoesoebroto, Eriko Utama, Ilma Indriasri Pratiwi dan Andra) dari FFB berkunjung ke Sinematek Indonesia tahun 2015 yang berlokasi di gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) di Jalan HR Rasuna Said, Kavling C22, Kuningan, Jakarta Selatan lantai empat,sementara untuk perpustakaan berada di lantai lima dan ruang penyimpanan arsip film di basement. Lembaga yang konon menjadi arsip film pertama se Asia Tenggara ini sejak didirikan 20 Oktober 1975 masih tetap saja dengan kesahajaannya dan ringkih menapaki dunianya sendiri, yaitu ruang yang terlupakan.

Perbincangan penuh visi dan hangat bersama Kepala Sinematek Indonesia Adisurya Abdy merupakan kesadaran tersendiri bagi kami saat itu. Mulai dari karyawan yang mempunyai idealis dan daya juang terhadap arsip film bagi Indonesia dengan jumlah di bawah hitungan 5 orang; membersihkan, memelihara, memantau roll film dari serangan jamur dan kerusakan karena faktor teknis lainnya.

2.700 film koleksi yang dimiliki pun tak semudah saat proses memilikinya, bahkan pernah meng-copynya dari Belanda karena di negara tersebutlah tersimpan film klasik Indonesia dekade 1930an, dan tentu saja mahal sekali pembiayaannya. Jumlah karyawan yang sangat minim tersebut merawat dan memelihara arsip film, kliping, skenario, buku, poster, peraturan film dan peralatan jadul untuk produksi film seperti lampu, proyektor, kamera seluloid, dan peralatan editing analog yang biasa digunakan untuk cek rol film yang tersimpan dengan baik di laboratorium, tentu saja jumlahnya mencapai belasan ribu dokumentasi. Lantas mereka pun di sebut orang-orang majenun (gila).

Seharian berada di lembaga pengarsipan tersebut menjadi sebuah kesadaran yang tak terampuni bila kekayaan bangsa ini tak dihiraukan kembali kepeduliaannya terhadap pengarsipan film itu sendiri oleh para praktisi film apalagi pemerintah Indonesia. Hmm.. negara akan rugi besar kalau kehilangan sejarah film karya anak bangsa ini dengan membuat ‘mati suri’ secara perlahan jika terus tak dilirik keberadaannya. Makin terasa ruang-ruang sunyi dan dingin itu saat kami memasuki ruang tempat rol-rol film 8mm, 16mm, 35mm dan 70mm di basement dengan suhu 9⁰C yang tetap terjaga selama 24 jam agar tidak rusak. Begitulah mereka mengerjakan semuanya dengan penuh perhatian dan kesadaran terhadap karya film di negeri yang dilupakan kiprahnya.

Katanya satu-satunya di Indonesia bahkan konon yang pertama se Asia Tenggara (saat itu) lembaga pengarsipan film ini, katanya Sinematek Indonesia ini sudah menjadi arsip nasional, katanya aturan sudah menginstruksikan, tapi katanya juga pemerintah belum serius mendukung dengan layak.

Hmm.. sebuah heritage karya film anak bangsa secara perlahan-lahan akan mati suri.

Semoga kesadaran masih ada.***


Penulis:

Agus Safari 

 


Post a Comment

Terima kasih sudah mengunjungi website resmi Festival Film Bandung. Sila tinggalkan jejak di kolom komentar. Hindari spamming dan kata-kata kasar demi kenyamanan bersama.
© Forum Film Bandung. All rights reserved.