Jakob Sumardjo
TUMBUH DALAM FILM
Tahun 1945
Paman mengajak nonton film di
gedung bioskop
Satu-satunya di Klaten
Pengalaman pertama ini tak
terlupakan
Gemetar menutup mata
Menyaksikan orang saling bertikam
Dalam gambar hidup putih hitam
Aku tak mau lagi diajak menonton
Tahun 1951
Ayah bekerja di AURI sebagai
sopir mobil wagon
Tiap bulan diputar film layar
tancap
Aku tertawa terbaha-bahak
Menyaksikan Charlie Chaplin
terpeleset kulit pisang
Atau lari-lari tunggang langgang
Dikejar perempuan
Aku merindukan menonton di akhir
bulan
Tahun 1955
Masa remaja di Yogyakarta
Sekolah SGA
Tiap hari melihat poster film
Di gedung bioskop Rahayu
Gambarnya bagus-bagus asli
Amerika
Aku kenal Marlon Brando
James Dean Gregory Peck Jerry
Lewis
Ava Gardner Heidy Lamar yang seksi
Tak terlupakan Gery Cooper yang
jantan pendiam
Aku tertawa bersama Jerry Lewis
Aku terharu bersama Gery Cooper
Aku mengagumi James Dean dan
Marlon Brando
Aku menirukan cara bersandar dia
Cara berjalan dia
Cara mengenakan kemeja
Tak terlupakan pula
Kirk Douglas lelaki jantan
kesepian
Tahun 1962
Menjadi guru SMA di Bandung
Mengajar murid yang semua
perempuan
Di zaman Demokrasi Terpimpin
Cuma nonton film-film Rusia
Beli buku-buku sastra Rusia
Harganya murah di bawah seliter
beras
Untung masih ada Liga Film
Mahasiswa ITB
Juga di Panti Budaya
Lumayan memutar film-film Amerika
Meskipun film lama
Tak sempat ditonton waktu remaja
Akan halnya film Indonesia
Sudah nonton lewat layar tancap
Dalam rangka Agustusan di
lapangan kampung Balapan
Yang kukenang hanya Chatir Harro
dan Netty Herawati
Tentang kisah revolusi
Yang marak tahun 1950-an
Tak terlupakan suara azan
Ketika para pejuang kelelahan
masuk kampung dari medan
perang
Yang termashur adalah Si Pincang
Yang diputar berkali-kali tiap
Agustusan
Namun tetap mempesona sampai
hafal ceritanya
Namun kecewa lebih hebat
beritanya
Film Indonesia
hanya semarak tahun lima
puluhan
Meskipun hitam putih namun sarat
makna
Baik komedi maupun yang seriosa
Bing Slamet dalam Tiga Buronan
siapa lupa
Tahun 1970
Kebangkitan film Indonesia
pertama
Film Bernafas Dalam Lumpur dalam
diri Suzanna
Sebenarnya film biasa
Menjadi luar biasa bagi mata film
Indonesia
Akibatnya wabah tiruan
Membuat bioskop ditinggalkan
Untung datang Panji Tengkorak
Dan Si Buta Dari Goa Hantu
Namun segera diserbu para peniru
Gedung bioskop benar-benar jadi
rumah hantu
Bosan perkosaan dan adu pedang
Tiba-tiba muncul Beranak Dalam
Kubur
Erat memegang tangan pacar
menjerit kegirangan
Tahun 1980
Orang teater masuk arena film Indonesia
Mereka membangun kebangkitan
kedua
Teguh Karya Sjumanjaya Arifin
Membikin gedung bioskop diserbu
kelas menengah
Seperti tahun lima puluhan
Meninggalkan tradisi kelas bawah
Penggemar hantu, silat, dan
perkosaan
Tahun 1990
Titik nadir film Indonesia
Runtuhnya film-film kelas
menengah akibat ambisi film seni
Dibicarakan kaum akademisi
Ditinggalkan penggemar Karmila
Akibatnya wabah film Perangkap
Janda Muda
Digemari pemuda kampung Cicadas
Tergiur paha mulus Marselina
Awal abad dua puluh satu
Kebangkitan film ketiga
Rombongan kaum muda
Profesional belajar di akademi
sinema
Meninggalkan tradisi amatur
sebelumnya
Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta
Membuka cakrawala baru bagi kaum
muda
Tidak usah serius merenung
seperti generasi tua
Mengikuti film Amerika
Film adalah tontonan banyak orang
Bertemunya pikiran sineas dan
penonton dalam film
Membagi pengalaman dan sekedar
renungan
Bukan ekspresi bebas memburu ketenaran
Sinema seni yang mahal
Melibatkan begitu banyak seniman
Perhelatan kawin seni dagang dan
seni film
Adalah kemasuk akalan
Sambil berharap dicatat sejarah
Uang menghasilkan uang
Di tangan pemilik kepala cerdas
Tidak peduli dalam film
Perumahan, kuliner, dan pengusaha
kaya
Itulah renungan
Seorang tua keranjingan nonton
Belajar sesuatu dari pengalaman
nontonnya
Apa yang dahulu dikagumi
Ketika ditonton kembali
Tak sehenat dulu lagi
Tapi ada pula yang dikagumi
Sejak dulu, sekarang, dan nanti
Dari seribu film
Mungkin hanya lima puluh film
Yang tak bosan ditonton seperti
Si Pincang
Film adalah seni sezaman
Ditonton atau tidak ditonton
waktu pertama diputar
Bukan seperti buku sastra
Yang baru dibaca generasi
berikutnya
Keajaiban gambar hidup
Dari masa kanak-kanak bersama
Charlie Chaplin
Sampai masa tua bersama Kagemusha
Mudah-mudahan di akherat nanti
Masih diizinkan menonton film
Panjang dan tidak membosankan
Sesungguhnya sinema adalah
Surga di dunia fana ini