Berawal pada tahun 1987, sejumlah
wartawan, pengamat, dan budayawan yang biasa menulis tentang film di harian
Pikiran Rakyat sering menyaksikan film-film baru di preview room PT Kharisma
Jabar Film. Sedikitnya dua film baru setiap hari Jumat sebelum diputar di
bioskop, bisa mereka saksikan. Kegiatan itu berlangsung rutin, dan peminat pun
mulai bertambah dari beberapa kalangan. Tak hanya penulis film, tapi juga dari
kalangan teater dan dari komunitas lainnya.
Setiap film yang ditonton acap
kali jadi bahan diskusi di antara mereka. Diskusi dalam suasana santai, tapi
tak kehilangan keseriusan. Sering mengemuka penilaian yang berbeda, tapi juga
tak jarang sependapat meski dengan visi dan argumentasi masing-masing.
Lambat-laun, diskusi-diskusi itu melahirkan suatu kesimpulan: banyak film layak
tonton sebagai wacana pengayaan apresiasi yang ternyata kurang diminati
masyarakat, tapi - kenyataan lain - film-film dengan citarasa ‘pasar’ yang
kental malah diserbu publik penonton. Sementara tulisan atau resensi film,
sebagai komunikasi apresiasi dengan masyarakat, tak mungkin bisa menyuguhkan
semua film yang beredar mengingat sedikitnya jumlah media cetak yang ada dengan
halaman yang terbatas pula.
Kenyataan itu mendorong mereka
untuk menggagaskan suatu wacana apresiasi lain yang tak harus berupa media
cetak, meski kehadiran media cetak yang sudah ada tetap dibutuhkan secara
mutlak. Kemudahan menyaksikan film baru, dan rangsangan menganalisisnya,
kebutuhan untuk selalu bertukar pikiran secara rutin, di samping kesadaran
moral untuk berbagi apresiasi dengan khalayak umum, mempercepat terwujudnya
gagasan itu. Maka, dalam waktu yang singkat, gagasan itu terwujud dengan
kelahiran Festival Film Bandung (FFB) sebagai suatu wacana pertukaran pemikiran
dan berbagi apresiasi tentang perfilman. Baik perfilman Indonesia ,
maupun perfilman asing.
Dari Festival ke Forum
Kelahiran FFB bukan dari
keinginan perseorangan, apalagi menjadi alat kepentingan bisnis, tapi lahir
dari keinginan bersama para budayawan Bandung
yang memiliki perhatian besar terhadap perfilman. Kelahiran FFB lebih berupa
sebagai gerakan kepedulian para budayawan terhadap perkembangan budaya.
Ketika pendirian Festival Film
Bandung (FFB) diumumkan ke tengah publik, dan diberitakan pers, reaksi simpati
dan dukungan bermunculan. Dukungan pertama kali muncul dari PT Kharisma Jabar
Film, yang memberikan berbagai fasilitas untuk menonton dan memberikan tempat
untuk sekretariat, hingga makin mempermudah mekanisme kerja FFB. Kemudian
harian Pikiran Rakyat, yang senantiasa mempublikasikan setiap kegiatan FFB,
sangat besar dukungannya. Tapi reaksi cukup mengejutkan muncul dari Departemen
Penerangan (Deppen), yang mempersoalkan istilah ‘Festival’ dalam FFB.
Istilah ‘Festival’ yang digunakan
FFB agaknya telah menimbulkan interpretasi yang berlainan. Padahal istilah itu
timbul secara spontan tanpa terpikir akan mengundang reaksi pro-kontra yang
tajam, dan digunakan tanpa pretensi berlebihan. Pendirian FFB, dengan
menggunakan istilah ‘Festival’, tak pernah disertai maksud untuk menyaingi
Festival Film Indonesia (FFI) seperti anggapan banyak orang. Di seluruh dunia, saat ini, sudah ada ribuan
festival film dengan segala aspirasi dan cara penyelenggaraan yang berbeda satu
sama lain. Tiap festival punya interes sendiri, punya warna budaya dan politik
sendiri, memiliki karakternya sendiri. Banyak festival di dunia yang tidak
menekankan segi kompetisinya, melainkan dilandasi semangat apresiasi,
eksperimentasi, penggalian terhadap film-film dari negeri sendiri maupun
negeri-negeri lain yang pantas diikuti perkembangannya.
FFB ingin dan berusaha menghormati semua pihak. FFB tak mau menyulitkan
pihak lain, dan tentu tak ingin disulitkan oleh pihak lain. FFB hadir hanya
sebagai salah satu sarana komunikasi antara narafilm dengan masyarakat sebagai
penikmat dan apresiator. FFB berusaha menempatkan keberadaannya tidak
bertentangan dengan aturan dan peraturan yang ada, kegiatannya juga diarahkan
agar tak tumpang-tindih dengan lembaga-lembaga yang sudah ada (seperti FFI,
Kine Klub, dan sebagainya) bahkan berusaha saling mendukung.
Oleh karena itu, ketika Departemen Penerangan RI (melalui Direktur
Pembinaan Film dan Rekaman Video dalam suratnya tertanggal 7 Maret 1988)
menyarankan untuk mengganti istilah ‘Festival’ dengan pertimbangan bahwa hanya
ada satu festival film di Indonesia – yakni FFI – yang diakui secara resmi, FFB
sepakat untuk memutuskan istilah lain. Kata ‘Forum’ – yang berarti musyawarah
atau tempat bertukar pikiran dan mempercakapkan segala hal – dipilih untuk
mengganti kata ‘Festival’, sehingga kepanjangan FFB menjadi Forum Film Bandung.
Dan nama itu tampaknya lebih sesuai dengan maksud dan dasar gagasan FFB,
ketimbang menggunakan istilah ‘Festival’ yang lebih berkonotasi kegiatan
seremonial. Secara tak langsung, Deppen telah meluruskan arah FFB yang ingin
menjabarkan kegiatannya secara sederhana dan proporsional.
Maka mulailah FFB bekerja, 1987, dengan kepengurusan sebagai berikut:
Pelindung : Kepala Kanwil
Deppen Jabar
Penasihat : Ateng Wahyudi
(Walikotamadya Bandung)
H. Bram M. Darmaprawira
(Pemimpin
Redaksi Harian Pikiran Rakyat)
Ketua : Ir. Chand Parwez Servia
Wakil Ketua : Us Tiarsa R.
Sekretaris : Hernawan, S.H.
Bendahara : Drs. Edison
Nainggolan
Ketua Bidang Pengamatan : Duduh
Durahman
Ketua Bidang Operasional : Eddy
D. Iskandar
Ketua Bidang Artistik : Drs. Sunarjo
Kordinator Penerbitan : Dra. Sofia F. Mansoor
Humas : Hilman Riphansa
Ketua Regu Pengamat : Sudjoko, M.A., Ph.D.
Sekretaris : Hernawan, S.H.
Anggota Pengamat : Us Tiarsa R.
Drs. Sutardjo Wiramihardja
Suyatna Anirun
Duduh Durahman, S.H.
Eddy D. Iskandar
Saini K.M.
Yayat Hendayana
Bekerja Tanpa Pamrih
Dalam melaksanakan aktivitasnya, para pengurus dan pengamat bekerja dengan
dedikasi tinggi dan tanpa pamrih. Tak salah jika Rosihan Anwar, salah seorang
tokoh perfilman Indonesia, menyebut pengurus dan pengamat FFB sebagai
orang-orang majenun. Orang-orang ‘gila’, tegasnya. Sementara biaya operasional
selama ini, seperti pembuatan piala dan piagam penghargaan untuk para pemenang,
seluruhnya ditanggung oleh PT Kharisma Jabar Film.
Film-film yang dinilai, baik produksi lokal maupun impor, pertama kali
diumumkan pada tanggal 1 April 1988. Tanggal tersebut juga yang ditetapkan
sebagai hari pengumuman pada masa penilaian tahun-tahun berikutnya. Memilih
tanggal tersebut sebagai hari penyelenggaraan pengumuman, bukan tanpa
pertimbangan. Dengan memilih tanggal “Hari Jadi Kota Bandung” itu (sebelum
ditemukan fakta baru yang mengubah Hari Jadi Kota Bandung menjadi tanggal 25
September), FFB ingin mengikatkan diri dengan kota ini yang memiliki
keterkaitan historis dengan sejarah perfilman Indonesia. Seperti diketahui,
Film Loetoeng Kasaroeng – film cerita pertama produksi Indonesia – dibuat di
Bandung pada tahun 1926.
Di samping mengamati film yang beredar di Bandung, film impor maupun lokal,
FFB juga menerbitkan buletin yang diedarkan secara gratis ke tengah masyarakat
serta perguruan tinggi dan lembaga-lembaga terkait di tanah air sebagai
perwujudan komitmen untuk berbagi apresiasi dengan berbagai pihak. Namun,
sayang, penerbitan ini tak bisa berlangsung lama. FFB kembali terbentur
peraturan. Setelah terbit setiap bulan, selama setahun lebih, buletin FFB
dilarang terbit dengan alasan tak memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers). Menurut Deppen, SIUPP disyaratkan mutlak agar penerbitan buletin bisa
dilanjutkan. Pada waktu itu, untuk bisa memperoleh SIUPP memerlukan biaya yang
sangat besar. Padahal, FFB mengedarkan buletin itu secara gratis (tak
diperjualbelikan). Akhirnya, dengan pertimbangan tak ingin menimbulkan konflik
dengan pihak mana pun, FFB kembali harus mengalah. Penerbitan buletin
itu pun terpaksa dihentikan.
Berbagai kendala itu, baik soal
keharusan perubahan nama maupun penghentian buletin, tak mengurangi semangat
dan dedikasi para pengurus/pengamat dan tak membuat FFB harus mengubah visi
atau tujuan. Penyelenggaraannya bisa
berlangsung setiap tahun, meski eksistensinya terbonsaikan peraturan
pemerintah (atau pihak-pihak yang meminjam tangan pemerintah?). Hal lebih
penting, kredibilitasnya tetap terjaga. Sebagai gerakan budaya, eksistensi FFB
tetap dianggap berwibawa dan prestisius di mata berbagai pihak terutama insan
perfilman Indonesia .
Setiap penyelenggaraannya selalu dihadiri oleh sejumlah tokoh dan artis
perfilman nasional, dan diberitakan oleh hampir semua pers terbitan Bandung maupun Jakarta .
Semangat dan dedikasi seperti
demikianlah yang melahirkan dan melanggengkan berbagai festival film
internasional di beberapa negara, seperti Festival Film Montreal di Kanada atau
Festival Film Internasional Singapore.
Sampai tahun ini, FFB tetap konsisten. Mengamati dan menilai film impor dan
nasional dengan kriteria yang telah ditetapkan sejak awal. Setiap tahun,
memberikan piagam dan piala penghargaan terhadap film-film pemenang. Untuk film
nasional dan aktrisnya yang menjadi pemenang, diberikan secara langsung jika
yang bersangkutan hadir. Untuk film impor yang menjadi pemenang, piagam dan
piala penghargaan dikirim ke produser di negara yang bersangkutan. Maka,
sesungguhnya, FFB sudah cukup dikenal di kalangan perfilman luar negeri
terutama di Amerika (Hollywood) sebagai eksportir film terbesar ke Indonesia.