Catatan Kecil Dhipa Galuh Purba
SEJAK tahun 1988 (kelas IV SD)
sampai tahun 1993 (kelas III SMP), saya menonton film layar tancap di Tempat
Hiburan Rakyat (THR) Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, setiap malam
Minggu. Itulah agenda utama yang sangat penting bagi saya. Tiap
malam Minggu, pasti saya bolos mengaji, karena harus berangkat ke THR lebih
awal, kadang sejak jam 16.00 WIB. Masalahnya saya tidak punya uang untuk
membeli tiket yg harganya Rp350,-. Jadi, setiap malam Minggu saya harus
berpikir keras bagaimana caranya mengelabui Pak Hansip, agar bisa lolos masuk
ke dalam THR. Terkadang bersembunyi di kolong panggung, WC, atau menyelinap
melalui ruang-ruang sempit di sekeliling THR.
Tantangan yang lebih berat
sangat terasa ketika film yang diputar berlabel 17+. Masalahnya, setelah
berhasil ”norobos” ke dalam THR, tak jarang saya dikeluarkan lagi oleh Pak Hansip.
Sebab, anak-anak dilarang menonton film 17+. Kalau sudah begitu, jalan terakhir
adalah naik pohon di belakang THR. Menonton film dari atas pohon. Gambarnya
tidak begitu jelas, apalagi audionya. Tapi yang membikin jengkel ketika hansip
tiba-tiba sudah berdiri dekat pohon dan menyuruh saya turun.
Meski demikian, dalam situasi
darurat pun saya tetap bisa menyimak ceritanya, memperhatikan acting para
pemainnya, dan sanggup menceritakan alur cerita film tersebut kepada
kawan-kawan sebaya yang saat itu jarang ada yang senakal saya. Begitu bangganya
ketika bisa menceritakan secara detail berbagai adegan dalam film. Nama-nama bintang
film semisal Barry Prima, Advent Bangun, Teddy Purba, Rhoma Irama, Enny
Beatrick, Ida Isha, Meriam Belina, Marisa Haque, dan lain-lain, begitu melekat
dalam benak saya.
Perjuangan untuk menonton film
begitu berat. Dikejar-kejar hansip adalah santapan hampir setiap malam Minggu.
Belum lagi dikejar oleh kakak saya yang sering murka karena saya bolos mengaji.
Beberapa kali saya dijemput paksa ke THR oleh kakak saya, pada saat saya sedang
asyik menyimak drama cinta dalam film nasional.
Hobi menonton film terus
berlanjut ketika saya melanjutkan sekolah di Bandung. Tidak ada norobos lagi,
karena nonton filmnya di bioskop. Untung di Bandung bisa berimprovisasi untuk
sekedar mencari uang buat membeli tiket bioskop. Di satu sisi, nonton film
lebih menyenangkan, dengan kualitas audio-visual yang jauh lebih berkualitas
dibanding THR. Tapi di sisi lain, pada era 1990-an, film-film yang diputar
di bioskop seperti kehilangan jati diri. Banyak film yang isinya lebih banyak mengeksploitasi
adegan sex, ketimbang menyuguhkan cerita yang menarik dan kekuatan acting
pemain. Judul-judul yang berbau “ranjang” hampir setiap hari menghiasi bioskop.
Tapi tidak ada pilihan lain, apapun filmnya yang penting tetap menonton.
Terdorong rasa ketertarikan
terhadap dunia film, pada tahuin 2001, saya mencoba melamar kerja ke ESA
Production, sebuah rumah produksi yang berdomisili di Kota Bandung. Di sanalah
saya mulai mengenal dapur produksi dan seluk-beluk dalam membuat film. Dari
mulai menjadi unit, pemain pembantu, hingga merevisi skenario. Saya banyak
belajar kepada sutradara A.R. Lubis (saya memanggilnya Bang Amrin), selama
bekerja pada bidang sinematik dan non sinematik. Saya pun
menjalin persahabatan dengan para crew, yang saat itu sama-sama bekerja di ESA
Production. Suka-duka dalam proses penggarapan sinetron, pernah saya lalui
bersama kawan-kawan. Selanjutnya, di Jakarta saya bertemu lagi dengan
kawan-kawan alumni ESA, yang sudah
dipercaya menjadi sutradara di rumah produksi lain, seperti Anto Agam, Buyung, dan
lain-lain.
Pengalaman yang paling
mengesankan adalah saat saya berkenalan dengan sutradara Prawoto Subur
Rahardjo. Saya mengenalnya sudah sejak lama, pada film-film layar lebar yang
disutradarai beliau. Satu hal yang senantiasa saya ingat, Mas Prawoto selalu
memberikan kesempatan kepada saya untuk turut bergabung dalam proses pembuatan
film. Bahkan untuk pertama kalinya, skenario FTV karya saya digarap oleh Mas
Prawoto, berjudul “Misteri Ronggeng Bentang”. Selain menulis naskah, Mas
Prawoto pun mengajak saya untuk memerankan salahsatu tokoh dalam cerita
tersebut. Saya pernah kuliah di Jurusan Teater STSI Bandung, sehingga saya
pernah belajar acting. Saya merasakan perbedaan antara acting di panggung dan
acting di depan camera. Keduanya memiliki tantangan tersendiri, yang tidak bisa
dikatakan mudah. Tidak ada yang mudah dalam proses produksi. Semuanya
berkeringat. Sehingga pada akhirnya, saya tidak pernah mengatakan sebuah film itu
jelek, karena saya sudah merasakan sendiri bagaimana kerja keras dalam membuat
film.
Mas Prawoto, saya tidak ragu
menganggapnya sebagai guru saya dalam sinematografi. Bukan saja karena diajak langsung
praktik di lapangan. Karena selain itu Mas Prawoto sering mengajak diskusi
mengenai dunia perfilman. Wawasan dan keilmuannya dalam film, membuat saya
banyak belajar dan menemukan pemahaman baru dari Mas Prawoto. Beberapa
kali menonton film yang sama, kemudian didiskusikan berjam-jam. Entah berapa
SKS, saya ”kuliah” perfilman kepada Mas Prawoto.
Saya pun sempat bergabung
dengan kawan-kawan alumni ESA di Jakarta. Saat-saat sulit pun pernah kami lalui.
Misalnya, ketika bersama-sama mengetuk pintu rumah produksi untuk
mendapatkan job. Misalnya pada suatu hari, saya, Bang Amrin, dan Zacky Artha,
pernah mengunjungi Ibu Titin Suryani, produser Lunar Film. Saya menawarkan naskah
skenario, Bang Amrin melamar untuk menjadi sutradara, dan Artha melamar untuk menjadi
pemain. Setelah berhari-hari menunggak ke warung makan, akhirnya semua
penawaran kami diterima. Ada beberapa judul skenario FTV karya saya yang diproduksi
Lunar Film. Sementara itu, Bang Amrin pun dipercaya menjadi sutradara
di Lunar Film.
Saya memutuskan kembali ke
Bandung, karena ingin menuntaskan kuliah. Padahal, kalau bicara jujur, saya
lebih asyik larut bersama insan perfilman. Tapi, ibu saya sangat berharap ada salahseorang
anaknya yang menjadi sarjana, dan sangat merindukan untuk mengantar wisuda,
seperti halnya tetangga di kampung. Ya, akhirnya saya menyelesaikan kuliah di
Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kemudian, saya menyelesaikan
S-2 di Jurusan Studi Masyarakat Islam, di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati,
Bandung. Selanjutnya, saya mendapat kepercayaan untuk mengajar mata kuliah
”Produksi Film” di kampus almamater.
Setelah mencoba menulis
skenario, saya pun mencoba membuat naskah drama panggung. Bermula dari sebuah
lomba, naskah saya lolos menjadi naskah pilihan dalam Festival Drama Basa
Sunda. Selanjutnya, setiap tahun, saya menulis naskah drama untuk difestivalkan
oleh Teater Sunda Kiwari.
Namun, dalam keseharian saya,
menonton dan mendiskusikan film tetap menjadi hobi. Wajar, jika saya pernah bermimpi untuk bergabung ke Forum
Film Bandung (FFB). Saya menyimak setiap kegiatan Festival Film Bandung sudah sejak
lama. Bahkan saya pun selalu menghadiri acaranya. Nama Kang Eddy D. Iskandar
pun sudah saya kenal sejak saya masih duduk di bangku SD, melalui film ”Gita
Cinta dari SMA”. Apalagi di dalamnya ada tokoh-tokoh lain yang tulisannya
sering saya baca, seperti Jakob Sumardjo, Aam Amilia, Yus R. Ismail, Rosyid E.
Abby, dan lain-lain.
Keinginan saya untuk bergabung
ke Forum Film Bandung, akhirnya saya utarakan ke Kang Rosyid dan Kang Yus.
Sampai pada suatu hari, ketika saya sedang menonton film di Ciwalk, Kang Rosyid
menelepon saya. Hampir dalam waktu bersamaan, Kang Yus juga mengirim sms. Intinya, Kang Eddy D.
Iskandar, ketua umum Forum Film Bandung
(FFB) menyetujui saya bergabung ke FFB, untuk menjadi anggota regu pengamat
Festival Film Bandung.***