Untuk informasi dan aktivitas FFB terkini, tonton video terbaru di Channel Youtube kami. Subscribe Here!

Pentingnya Lembaga Sensor Film



Arsip Majalah FFB 
Dimuat Pada Majalah FFB - September 2014 (27 Th FFB)


Oleh
Edison Nainggolan
(Ketua Bidang Pengamatan Forum Film Bandung)



1.    Pengantar

Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (UU 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman). Menurut definisi di atas film merupakan produk visual dengan atau tanpa suara. Bila digabung dengan suara maka lazim disebut audio visual. Mengenai audio visual, Lyver dan Swainson (1996:1), dalam bukunya Video Production, menyebutnya terbuat dari untaian gambar bergerak disertai rangkaian suara. Kedua elemen tersebut dapat menyampaikan informasi dan emosi. Dengan demikian film merupakan media komunikasi massa yang dapat memengaruhi perilaku khalayak penontonnya.
Audio visual (film) memengaruhi perilaku masyarakat yang dampaknya cukup besar terutama terhadap anak-anak, remaja, dan generasi muda, karena film tidak lagi hanya bisa ditonton di tempat-tempat tertentu seperti bioskop di zaman dahulu. Kesempatan menonton film semakin terbuka luas karena film sudah mendatangi setiap rumah melalui media televisi, tanpa memerhatikan waktu siang ataupun malam. Di samping itu, pesatnya perkembangan penggunaan internet juga memungkinkan masyarakat untuk menonton film, yang akan berakibat sangat negatif bila film yang ditonton berisi visualisasi hal-hal yang bertentangan dengan agama, adat-istiadat, dan norma lainnya yang berlaku di masyarakat.
Pesatnya perkembangan dan pertumbuhan jumlah stasiun televisi di satu sisi membawa pengaruh positif dalam meningkatkan peluang keterbukaan informasi, edukasi, dan hiburan masyarakat. Namun, di sisi lain isi siaran televisi juga tidak jarang membawa pengaruh negatif, sehingga dapat memengaruhi perilaku masyarakat secara negatif pula. Hal ini terutama karena daya magnetis layar kaca televisi, yang membuat banyak anak-anak, remaja, dan generasi muda menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi. Anak-anak cenderung “lebih banyak belajar” melalui televisi. Apa saja yang ditayangkan televisi terkesan lebih mudah diserap dibandingkan dengan pesan yang disampaikan oleh guru maupun orang tua. Dengan demikian, bila program televisi terutama film yang memiliki muatan yang kurang baik, maka pengaruh negatifnya akan cenderung lebih besar terhadap perkembangan jiwa anak-anak dan generasi muda.
Besarnya pengaruh film terhadap masyarakat disadari oleh pemerintah bersama DPR. Hal ini dapat dilihat dengan adanya rumusan yang jelas tentang tujuan perfilman dalam Pasal 3 UU 33 Tahun 2009 yang antara lain menyebutkan bahwa perfilman bertujuan: terbinanya akhlak mulia, terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa, dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.
Dalam pasal 5 undang-undang tersebut berikut penjelasannya juga dikemukakan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Artinya kebebasan itu harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

2. Pentingnya Lembaga Sensor Film

Besarnya pengaruh film terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku masyarakat dari berbagai usia, perlu dikendalikan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pengaruh negatif dari film itu sendiri. Pengendalian tersebut salah satunya dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk regulasi. Salah satu bentuk regulasi perfilman adalah sensor. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman disebutkan bahwa Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.
Di Indonesia sensor film lahir sejak zaman Hindia Belanda berkaitan dengan perkembangan perbioskopan di tanah air sejak tahun 1900. Tujuh tahun setelah berdirinya lembaga sensor film (NBC) di New York, pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 18 Maret 1916 menetapkan berlakunya Film Ordonantie Stbl. 276 Tahun 1916. Dalam ordonansi ini secara jelas disebut Komisi Penilai Film, dan dengan demikian tanggal dan tahun itu dapat dikatakan awal berdirinya lembaga sensor film di bumi Nusantara ini. Jadi, sensor film telah hadir di Indonesia selama 98 tahun. Dalam kurun waktu yang hampir satu abad tersebut, lembaga yang melaksanakan sensor telah beberapa kali ganti nama, yakni Panitia Pengawas Film (PPF) tahun 1950, kemudian berubah menjadi Badan Sensor Film (BSF) tahun 1966, dan kemudian berubah lagi menjadi Lembaga Sensor Film (LSF) hingga sekarang. (Lembaga Sensor Film Republik Indonesia, 2011: Sejarah Sensor Film di Indonesia 1916-211).
            Dari sejak lahir dan perkembangannya di Indonesia, dapat diketahui bahwa sensor film memiliki fungsi yang sangat penting sepanjang zaman tanpa dibatasi ruang dan waktu. Masyarakat ternyata tidak dapat diberi kebebasan sepenuhnya tanpa kendali, walaupun banyak tuntuntan yang memperjuangkan kebebasan tanpa kendali dengan alasan perlunya kebebasan berekspresi, melawan pemasungan kreativitas, dll. Untung tuntutan seperti itu tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, sehingga keberadaan sensor tetap langgeng.
Berdasarkan ketentuan UU 33 Tahun 2009, semua film baik film cerita, film dokumenter, film iklan, maupun iklan film (trailer, poster, dan foto) harus disensor terlebih dahulu sebelum dipertunjukkan kepada umum. Hal ini sangat penting, karena di samping manfaat positifnya, film juga memiliki dampak negatif, sehingga diperlukan peran Lembaga Sensor Film sebagai filter terakhir atas karya film sebelum dipertunjukkan. Oleh karena itu, semua film yang dipertunjukkan untuk umum terutama yang bersifat komersial seharusnya lulus sensor, termasuk semua pertunjukan dan atau penayangan film melalui televisi, baik saluran televisi bebas maupun televisi berbayar. Saat ini sering terjadi bahwa film yang ditayangkan di saluran televisi berbayar menyuguhkan adegan seks lebih terbuka dari film yang dipertunjukkan di bioskop. Padahal film di bioskop dikenakan batasan umur minimum penonton, sedangkan di saluran televisi berbayar cenderung bebas jam penayangannya, sehingga sangat mungkin ditonton oleh anak-anak dan remaja. 
Sanksi pidana atas pelanggaran ketentuan di atas di ancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 milyar terhadap: Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khayalayak umum, film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 (UU 33 Tahun 2009 Pasal 80).
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Lembaga Sensor Film berkaitan erat dengan hal-hal yang berhubungan dengan penyiaran, hak cipta, pornografi, perlindungan anak, dan bahasa.

2.1. Penyiaran
            Untuk mengetahui hubungan Lembaga Sensor Film dengan Penyiaran perlu diperhatikan beberapa ketentuan dalam UU 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, yakni:
(1)  Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.
(2)  Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
(3)  Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
(4)  Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.
(5)  Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk memengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.
(6)  Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut.
(7)  Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(8)  Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.
Kewenangan untuk mengawasi siaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berada di tangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di tingkat pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) di tingkat provinsi. Objek pengawasan di antaranya adalah film, baik film cerita, film dokumenter, film iklan, iklan film (trailer), dan film-film lainnya, termasuk berbagai jenis program televisi yang telah direkam terlebih dahulu sehingga dikategorikan sebagai film menurut undang-undang.
Film dalam berbagai bentuk di atas berdasarkan ketentuan UU 33 Tahun2009 harus disensor terlebih dahulu. Ketentuan tersebut membuat Lembaga Sensor Film berkaitan sangat erat dengan penyiaran, baik Komisi Penyiaran Indonesia maupun Komisi Penyiaran Indonesia Daerah. Agar isi siaran televisi memenuhi amanat undang-undang, maka Lembaga Sensor Film harus difungsikan sebagaimana mestinya.
Berkenaan dengan pengawasan isi siaran tersebut serta perkembangan dan pertumbuhan stasiun televisi lokal, maka pembentukan Perwakilan Lembaga Sensor Film di ibukota provinsi (sesuai dengan bunyi pasal 4 Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film) perlu segera dilakukan. Dalam kondisi sekarang, disinyalir bahwa kebanyakan isi siaran televisi lokal tidak disensor oleh lembaga yang berwenang, yakni Lembaga Sensor Film. Maka jangan heran bila banyak siaran televisi lokal yang berbau sensual atau malah cenderung tidak sesuai norma yang berlaku di masyarakat setempat. Di samping itu, perkembangan produksi film di daerah juga perlu diantisipasi.

2.2 Hak Cipta
            Untuk mengetahui hubungan Lembaga Sensor Film dengan Hak Cipta perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang diatur dalam UU 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yakni:
(1)   Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)   Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
(3)   Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
(4)   Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
(5)   Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
(6)   Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
(7)   Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa pun.
(8)   Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
(9)   Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.
Dari beberapa ketentuan atau definisi di atas memang film belum dinyatakan secara eksplisit, namun pada hakikatnya film sebagai hasil karya kreatif sangat erat kaitannya dengan hak cipta. Dengan demikian Lembaga Sensor Film dalam melaksakan tugas dan fungsinya seyogianya selalu lebih teliti memerhatikan kemungkinan terjadinya pelanggaran hak cipta sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2.3 Pornografi
Pencegahan terhadap penyebarluasan film yang berbau pornografi merupakan salah satu tugas penting dari Lembaga Sensor Film. Salah satu pedoman penyensoran film berkaitan dengan pornografi adalah UU 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Berbagai larangan dalam undang-undang tersebut di antaranya: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: (a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; (b) kekerasan seksual; (c) masturbasi atau onani; (d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; (e) alat kelamin; atau, (f)  pornografi anak.
Ketentuan pidana tentang pornografi di antaranya diatur dalam pasal 29 yang berbunyi: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
            Selanjutnya UU 44 Tahun 2008 juga mengatur berbagai ketentuan yang harus menjadi pedoman penyensoran film.

2.4 Perlindungan Anak
Sebagaimana diamanatkan oleh UU 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
            Dalam kaitannya dengan amanat UU 23 Tahun 2002 di atas, maka Lembaga Sensor Film perlu bekerja secara optimal melakukan penyensoran sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta kriteria penyensoran yang telah dan akan ditetapkan, sehingga pendidikan dan perkembangan jiwa anak dihindarkan dari pengaruh negatif film.
            Fungsi Lembaga Sensor Film sebagai benteng terakhir penyensoran harus dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sehingga bangsa ini terhindar dari bencana dekadensi moral.

2.5 Bahasa
Sebagaimana diuraikan di atas, anak-anak, remaja, dan generasi muda setiap harinya cenderung menghabiskan waktu beberapa jam menonton televisi. Hal ini berarti bahwa bahasa yang digunakan, baik bahasa lisan maupun tulisan di televisi cenderung berpengaruh terhadap penontonnya.
Kenyataannya, berbagai film atau sinetron yang ditayangkan di televisi banyak yang tidak menggunakan bahasa baku, terutama dalam penulisan credit title. Cara-cara penulisan bahasa yang salah sering dianggap sebagai cara penulisan yang benar. Akibatnya bahasa tulis yang digunakan masyarakat sering tidak memperhatikan ketentuan tentang ejaan (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan).
Sebagai lembaga yang menentukan film dapat dipertunjukkan atau tidak, secara langsung maupun tidak langsung Lembaga Sensor Film turut bertanggung jawab atas penggunaan bahasa Indonesia yang kurang tepat di dalam film, baik bahasa lisan maupun tulisan.

3. Penutup
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Lembaga Sensor Film memiliki peran dan fungsi yang penting untuk melindungi bangsa dan negara dari pengaruh negatif film. Di samping itu Lembaga Sensor Film juga dapat berperan serta mengarahkan perkembangan perfilman nasional, sehingga pada akhirnya perfilman nasional dapat memberi sumbangsih yang positif bagi pembangunan moral bangsa di samping perkembangan perfilman sebagai industri.***

Post a Comment

Terima kasih sudah mengunjungi website resmi Festival Film Bandung. Sila tinggalkan jejak di kolom komentar. Hindari spamming dan kata-kata kasar demi kenyamanan bersama.
© Forum Film Bandung. All rights reserved.